Thursday, June 23, 2011

Runtuhnya Watak Orang Jawa



ANALISInews.com



Judul Buku: Orang Jawa Jadi Teroris
Penulis: M. Bambang Pranowo
Penerbit: alvabet
Cetakan: I, Februari 2011
Tebal: 255 Halaman

Kekerasan berbaju agama kembali mendera Indonesia. Kali ini Temanggung, Jawa Tengah dan Cikeusik, Banten menjadi medan unjuk kekuatan para perusuh. Meski dipicu hal yang berbeda –Temanggung disebabkan kemarahan terhadap pelaku penodaan agama sedangkan di Pandeglang karena isu laten seputar Ahmadiyah- namun tak pelak menggiring memori kolektif kita atas rentetan puncak kekerasan bertopeng agama, yaitu terorisme.

Peristiwa yang membuat Indonesia menjadi sorotan dunia ini, dimulai dari tragedi bom Bali jilid satu dan dua, peledakan hotel J.W. Marriot, hingga aksi pengejaran terhadap kawanan Nurdin M. Top dan Dr. Azhari. Karena pada dasarnya rangkaian kekerasan baru-baru ini di dua tempat berbeda di atas, serta perilaku para teroris tersebut memiliki benang merah yang sama, yaitu menggunakan agama untuk menjustifikasi tindakan tersebut.

Selain itu, satu hal yang menarik dari fenomena di atas adalah bahwa kasus-kasus tersebut justru terjadi di Pulau Jawa dengan pelaku kebanyakan dari suku Jawa, sebuah suku mayoritas di Indonesia yang selama ini dikenal dengan keramah-tamahan dan sopan santunnya. Inilah kegelisahan yang melanda pada diri M. Bambang Pranowo, penulis buku berjudul Orang Jawa Jadi Teroris ini.


Kegelisahan tersebut cukup beralasan, mengingat faktanya jika kita menderet nama-nama pelaku teror yang tertangkap Polisi, seperti Abu Dujana, Abu Irsyad, Amrozi, Imam Samudera, dan lain-lain ternyata berasal dari Jawa. Jika pun ada teroris lain yang berasal dari daerah selain Jawa, porsinya sangat kecil. Mengapa hal tersebut dapat terjadi ?

Menurut Pranowo, untuk mengkaji hal tersebut harus memahami karakter orang Jawa dengan melihat simbol karakter dalam wayang Pandawa Lima terlebih dahulu. Mereka adalah Puntodewo, Werkudoro (Bima), Arjuna, Nakula dan Sadewa. Puntodewo, Nakula, dan Sadewa terkenal sebagai tokoh yang lemah-lembut dan selalu mengalah. Arjuna adalah tokoh yang pandai, mumpuni dalam diplomasi dan perang, sedangkan Werkudoro merupakan tokoh yang lurus, pemberani, dan pantang menyerah. (Halaman 16)

Karakter-karakter itulah yang dapat mendeskripsikan karakter-karakter orang Jawa. Secara keseluruhan sikap dan tutur kata orang Jawa sangat lembut, akomodatif, dan mudah bersahabat dengan siapa pun. Namun, di sisi lain orang Jawa juga memiliki filosofi hidup tiga nga yang dalam kondisi tertentu sering muncul, yaitu ngalah, ngalih, dan ngamuk.

Menurut guru besar Sosiologi ini, karakter ngalah biasanya digunakan untuk tujuan jangka panjang yang menguntungkan, dan ini merupakan sisi lain dari karakter Puntodewo. Tapi jika lawannya masih keras, orang Jawa akan ngalih, meminggirkan dirinya dan mencari strategi lain untuk menang, ini karakter lain dari Arjuna. Namun jika terus didesak dan diinjak terus menerus, orang Jawa akan ngamuk, dan inilah karakter lain Werkudoro.

Penting untuk dicatat, perilaku anarkis yang terjadi baru-baru ini di Temanggung dan Pandeglang lebih menunjukkan perilaku ngamuk-an pelakunya tinimbang menunjukkan perilaku ksatria layaknya karakter Pandawa Lima. Selain itu, sebagaimana disebutkan oleh penulis buku setebal dua ratus lima puluh lima halaman ini dalam pengantarnya, masuknya ideologi-ideologi radikal dari Timur Tengah ke Tanah Air yang bukan hanya membawa akidah, namun juga mengusung ideologi kekuasaan yang kerap berbenturan dengan ke-Bhineka-an.  

Radikalisasi watak orang Jawa ini bukan hanya meruntuhkan watak orang Jawa yang selama ini dikenal sebagai ramah, sopan, lembut, akomodatif, mudah menerima perbedaan dan persahabatan dengan orang lain menjadi beringas, ekslusif dan mudah curiga, namun juga berpotensi terhadap timbulnya perpecahan dan disharmoni.

Jika sebelumnya orang-orang desa di Jawa hanya mengenal NU dan Muhammadiyah yang adem-ayem dan harmoni dengan lingkungan masyarakat kampung, kini terancam dengan munculnya berbagai organisasi Islam yang “panas” dan demonstratif, bahkan cenderung anarkis. Inilah momok utama bagi tatanan masyarakat Jawa dan Indonesia. Fenomena kekerasan ini jelas sangat memprihatinkan, jika di masa lalu banyak orang terkesan dengan proses islamisasi di Jawa yang sangat kultural, sehingga sulit membedakan mana abangan dan mana santri, sekarang persoalannya justru semakin pelik; mana santri mana teroris.  

Buku setebal dua ratus lima puluh lima halaman ini merupakan kumpulan empat puluh satu tulisan Bambang Pranowo yang tersebar di berbagai media. Di dalamnya akan kita nikmati secara lengkap gambaran dinamika Islam di Indonesia dengan segala problematikanya. Tak lupa, sebagai seorang ilmuwan terdapat solusi yang hendak ditawarkan kepada pembacanya.

Resensiator:
Noval Maliki, Pembaca buku dan penggiat Demi Buku Institute, Tinggal di Yogyakarta

2 comments:

  1. mungkin sebagai tambahan mas:
    terorisme banyak berkembang di wilayah "abangan" bukan di basis masa NU, atau Muhammadiyah. ini yang perlu kita waspadai.
    anyway, saya tertarik dengan filosofi tiga nga itu: ngalah, ngalih, ngamuk.
    terima kasih

    ReplyDelete
  2. terima kasih banyak atas masukannya yang sangat berharga mas.....

    ReplyDelete