Judul Buku: Perang Bintang 2014
Penulis: Burhanuddin Muhtadi
Penerbit: Noura Books
Cetakan: I, 2013
Tebal: 341 Halaman
Deklarasi
calon presiden yang dilakukan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) pada 2 Juli
2013 yang lalu, semakin memperkencang genderang politik yang ditabuh menjelang 2014.
Dengan mengusung Wiranto dan Harry Tanoesudibjo sebagai pasangan Calon Presiden
dan wakil Presiden, Hanura berusaha menunjukkan kepercayaan dirinya yang
tinggi.
Manuver
yang dilakukan oleh Hanura boleh jadi akan semakin meramaikan bursa pencalonan
presiden, mengingat partai-partai lain belum secara terbuka menyatakan
jagoannya. Meski demikian, beberapa nama digadang-gadang akan terjun
memperebutkan puncak kekuasaan di Tanah Air, sebagian lagi sekedar menjadi
penghias media massa dan lembaga survey.
Karnaval
politik juga disemarakkan dengan merebaknya fenomena deparpolisasi, menguatnya
pengaruh media televisi (telepolitics)
dalam mempengaruhi pemilih, makin besarnya proporsi pemilih mengambang (swing voters) dalam mengubah peta elektoral,
maraknya kanibalisasi dalam partai Islam, dan tampilnya bintang-bintang baru
calon presiden alternatif dari kalangan independen.
Hasil
survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) dan Saiful Mujani Research and Consulting
(SMRC) sepanjang tahun 2012, dari puluhan nama bakal capres yang diuji
popularitasnya di mata pemilih, hanya delapan nama saja yang di atas 50%.
Mereka adalah: Megawati Sukarno Putri (93,7%), Jusuf Kalla (88,9%), Prabowo
(78,8%), Wiranto (72,8%), Abu Rizal Bakrie (70%), Sultan Hamengkubuwono
(58,3%), Anas Urbaningrum (55%) dan Hatta Rajasa (54,1 %). (Hlm. 18)
Data
di atas, menurut Burhanudi Muhtadi dalam buku berjudul Perang Bintang 2014 ini, menuntun para pemilih kepada dua
pilihan serba tak ideal; Pertama, pemilih
di-fait-accompli oleh stok calon
presiden yang itu-itu saja setiap pemilihan umum. Capres populer belum diterima
publik karena masalah akseptabilitas, integritas dan track-record yang kurang baik.
Kedua, nama-nama baru
yang memiliki kemampuan baik, bersih dari korupsi dan kejahatan HAM belum juga
muncul ke permukaan. Jika figur-figur baru belum tampil sebagai alternative credible, pemilih akan
dihadapkan pada pilihan dilematis, memilih pilihan yang buruk atau memutuskan
untuk golput. Atau setidaknya melahirkan fenomena deparpolisasi yang menguat.
Kondisi
demikian diperparah dengan adanya model kepemimpinan transaksional yang
dibangun di atas fondasi pragmatisme dan pertukaran kepentingan ekonomi
politik. Hubungan elit politik dengan konstituen dirusak oleh transaksi
material bukan pertukaran gagasan. Model kepemimpinan ini tumbuh subur dalam
sistem politik kartel bernama APBN/APBD menjadi ajang bancakan dan lisensi
diperjualbelikan untuk mengikat loyalitas politik.
Tidaklah
mengherankan jika data tren survey kepartaian LSI menunjukkan rata-rata party
ID hanya 20 %. Padahal secara
teoritis, kontinuitas atau stabilitas partai politik dapat terjadi bila pemilih
mengidentikkan diri dengan partai. Party
ID adalah perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas
politiknya, atau bahwa dia merasa dekat dengan partai tertentu. Party ID merupakan komponen psikologis
yang akan memberikan sumbangan bagi stabilitas dukungan terhadap partai dan sistem
kepartaian. (Hlm. 324)
Selain
itu, akan amat disayangkan mayoritas kalangan pemuda yang bukan hanya menjadi
kelompok pendulang suara yang sangat besar dan menentukan dalam pemilu, namun
juga tumpuan harapan kepemimpinan masa depan bangsa, justru menjadi pemilih
dengan kategori terasing dan pragmatis.
Para
pemilih terasing, yakni kelompok pemilih yang tidak memiliki relasi emosional
dengan partai, dan pada saat yang bersamaan menilai negatif kinerja partai
politik. Pemilih terasing biasanya cenderung golput, sementara pemilih
pragmatis akan lebih kritis dan rasional menilai parpol. Jika partai dianggap
gagal menyalurkan aspirasi mereka, mereka akan memilih golput atau setidaknya
apatis dengan dinamika politik.
Survei
nasional LSI mengonfirmasi makin besarnya pemilih mengambang yang mempengaruhi
peta kekuatan partai politik pada 2014 nanti. Survei menemukan jika pemilu
dilaksnanakan pada bulan Mei 2011 jumlah pemilih mengambang 29,6% namun jika partai baru gagal memberikan
diferensiasi dan positioning yang
jelas, nasib mereka juga akan dijauhi pemilih. (Hlm. 118)
Gejala
makin besarnya pemilih mengambang (swing
voter) yang tak terikat partai bertemu dengan makin menurunnya peran partai
dibandingkan media massa dalam mnjangkau pemilih. Akibatnya politik elektoral
di Indonesia sangatlah dinamis dan fluktuatif.
Sejatinya,
pemilihan presiden bukan sekedar ritual demokrasi lima tahunan, atau sekedar
representasi dari kebebadan berpolitik belaka. Tetapi juga momentum bersama
agar bangsa Indonesia dapat menyeleksi dan memilih putra-putri terbaik negeri
untuk menjadi pemimpin nasional.
Sebagaimana
diakui oleh penulisnya, buku ini merupakan sebuah “rekaman tertulis” atas
peristiwa-peristiwa politik di tingkat elite dan respons public di tingkat
massa. Titik fokus buku setebal 341 halaman ini lebih banyak diarahkan pada
memotret konstelasi dan prediksi pemilu legislatif dan presiden pada 2014
mendatang.
Sehingga dengan demikian, tidak sedikit perkembangan
termutakhir dalam konstelasi politik nasional yang belum terbaca dalam analisa
pengamat politik yang kini namanya tengah meroket ini. Sebut saja misalnya
kehadiran partai-partai baru seperti Partai Nasional Demokrat, atau kemelut di
tubuh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tengah menghangat yang disebut
banyak kalangan akan berpengaruh terhadap elektabilitas dalam pemilu 2014.
Assalamualaikum, singgah dan follow di sini. Jemput ke blog saya pula.
ReplyDelete