Harian Bhirawa, 06 September 2013
Judul Buku: Ironi Cukai Tembakau
Penulis: Gugun El Guyanie, dkk.
Penerbit: Indonesia Berdikari
Cetakan: I, Juni 2013
Tebal: 190 Halaman
Sejak diperkenalkan pada tahun 1830 dan berhasil
dikembangkan secara masif menjadi salah satu tanaman ekspor andalan sejak tahun
1858, tembakau sudah menjadi salah satu sumber pemasukan keuangan negara bagi
pemerintah kolonial Belanda. Sejak itu, komoditas ini dibebani pungutan pajak
dalam bentuk cukai rokok.
Hingga saat ini, pertanian tembakau dan industri hasil
tembakau merupakan penyumbang pendapatan negara terbesar keempat setelah pajak
pertambahan nilai, pajak penghasilan badan, serta pajak penghasilan minyak dan
gas bumi. Selain itu, komoditi ini juga menjadi sumber penghidupan utama jutaan
rakyat Indonesia.
Pemerintah pada tahun 2013 ini bahkan merencanakan
sasaran pendapatan cukai tembakau mencapai Rp 87 triliun. Pemasukan tersebut
jauh lebih tinggi dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta pajak
jenis lainnya di luar Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN). (Halaman 15)
Besarnya jumlah dana tersebut membuat pemerintah harus mengeluarkan
suatu peraturan khusus untuk pemanfaatan alokasinya. Sehingga lahirlah UU nomor
11 Tahun 1995 tentang Cukai dan UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas
UU Nomor 11 Tahun 1995 serta beberapa Peraturan Menteri (PERMEN).
Meski demikian, menurut buku berjudul Ironi Cukai
Tembakau ini, setidaknya terdapat
tiga masalah utama menyangkut perhitungan dana bagi hasil antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah penghasil tembakau, atau yang atau yang
biasa dikenal dengan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT); masalah konseptual, peruntukan, dan pengawasan.
(Halaman 19-32)
Ironisnya episentrum
permasalahan jutru terdapat pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor
84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan DBH-CHT dan Sanksi Atas Penyalahgunaan
DBH-CHT serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan
dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.
Peraturan tersebut menyebutkan bahwa kewenangan
pengelolaan pajak tembakau dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil
tembakau sebesar 2 %. Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa kewenangan
pengelolaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) dilimpahkan ke
gubernur penerima, secara terbatas dari keputusan dan peraturan pusat.
Faktanya, temuan di lima provinsi penerima DBH-CHT
memperlihatkan bahwa sangat sedikit pemerintah daerah tersebut yang melibatkan
pihak legislatif serta masyarakat sipil dalam penentuan peruntukan DBH-CHT.
Akibatnya, pengetahuan dan pengawasan berbagai pihak di luar lingkaran
eksekutif menjadi minim, sehingga menjadi celah pihak eksekutif untuk
ditafsirkan secara manasuka. (Halaman 131)
Tidaklah mengherankan jika kemudian banyak terjadi
“penyeberangan” anggaran ke sasaran-sasaran yang keliru, misalnya, untuk
membiayai belanja operasional rutin kantor yang semestinya telah dicakup dari
sumber-sumber pembiayaan tetap (belanja barang dan belanja pegawai) dalam APBD.
Selain itu, dominasi rezim kesehatan dalam penggunaan
DBH-CHT juga menimbulkan suatu ironi, khususnya bagi para petani tembakau,
kalangan industri hasil tembakau, dan para konsumen pembayar utama cukai tembakau.
Dengan sangat tendensius, semua kegiatan sektor kesehatan yang menggunakan dana
itu justru melemahkan sektor pertanian dan industri tembakau, baik secara
langsung maupun tidak. (Halaman 55)
Misalnya saja melalui penyebaran citra negatif terhadap
tembakau dan rokok, upaya pengalihan lapangan kerja atau bidang usaha para
petani tembakau dan pekerja industri hasil tembakau. Dengan dalih ‘peningkatan
kualitas bahan baku’, maka marjinalisasi terhadap spesies-spesies tembakau
lokal pun dilakukan sehingga para petani menjadi tergantung dengan benih impor.
Dikhawatirkan jika kecenderungan ini terus berlanjut,
maka para petani tembakau dan industry hasil tembakau rakyat yang umumnya
berskala kecil dan menengah akan menjadi korban yang paling menderita.
Tanda-tandanya sudah mulai kelihatan dengan banyaknya industri tembakau kecil
dan menengah yang gulung tikar sebagaimana terjadi di Malang, Kediri, dan
Kudus. (Halaman 150)
Menurut kesimpulan buku setebal 190 halaman ini, terlalu
besarnya kewenangan eksekutif menentukan arah penyaluran DBH-CHT,
kekurangjelasan aturan mengenai besaran alokasi per kegiatan, dan sanksi yang
relatif ringan jika terjadi penyalahgunaan, merupakan faktor-faktor penyebab
munculnya persoalan dalam pengelolaan dan penggunaan DBH-CHT selama ini.
Oleh karenanya, buku yang terdiri dari tim peneliti yang
diketuai oleh Puthut EA ini memberikan sembilan penting yang harus dilakukan
untuk membenahi status hukum dan pelaksanaan DBH-CHT. Sebagai hasil sebuah
riset yang sarat data, buku ini juga mencantumkan lebih dari tuiga puluh
halaman data pendukung yang validitasnya dapat diuji dan tidak diragukan lagi.
Harapannya, agar persoalan DBH-CHT dapat tersaji dengan
jernih dan mampu mengetuk kesadaran pembaca atas sebuah persoalan yang
sepertinya secara sengaja disimpan dalam laci terkunci agar tidak ada yang
membukanya. Dengan kata lain, isu tembakau dan rokok yang selama ini seolah
menjadi musuh bersama ternyata sebenarnya menjadi primadona pemerintah dan
ladang pemasukan bagi negara.
No comments:
Post a Comment