Monday, September 16, 2013

Melacak Jejak Aroma Cukai Tembakau

Harian Bhirawa,   06 September 2013

Judul Buku: Ironi Cukai Tembakau
Penulis: Gugun El Guyanie, dkk.
Penerbit: Indonesia Berdikari
Cetakan: I, Juni 2013
Tebal: 190 Halaman

Sejak diperkenalkan pada tahun 1830 dan berhasil dikembangkan secara masif menjadi salah satu tanaman ekspor andalan sejak tahun 1858, tembakau sudah menjadi salah satu sumber pemasukan keuangan negara bagi pemerintah kolonial Belanda. Sejak itu, komoditas ini dibebani pungutan pajak dalam bentuk cukai rokok. 

Hingga saat ini, pertanian tembakau dan industri hasil tembakau merupakan penyumbang pendapatan negara terbesar keempat setelah pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan badan, serta pajak penghasilan minyak dan gas bumi. Selain itu, komoditi ini juga menjadi sumber penghidupan utama jutaan rakyat Indonesia. 

Pemerintah pada tahun 2013 ini bahkan merencanakan sasaran pendapatan cukai tembakau mencapai Rp 87 triliun. Pemasukan tersebut jauh lebih tinggi dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta pajak jenis lainnya di luar Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). (Halaman 15)

Besarnya jumlah dana tersebut membuat pemerintah harus mengeluarkan suatu peraturan khusus untuk pemanfaatan alokasinya. Sehingga lahirlah UU nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai dan UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 1995 serta beberapa Peraturan Menteri (PERMEN).

Meski demikian, menurut buku berjudul Ironi Cukai Tembakau ini, setidaknya terdapat tiga masalah utama menyangkut perhitungan dana bagi hasil antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah penghasil tembakau, atau yang atau yang biasa dikenal dengan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT); masalah konseptual, peruntukan, dan pengawasan. (Halaman 19-32)

Ironisnya episentrum permasalahan jutru terdapat pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan DBH-CHT dan Sanksi Atas Penyalahgunaan DBH-CHT serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.

Peraturan tersebut menyebutkan bahwa kewenangan pengelolaan pajak tembakau dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2 %. Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa kewenangan pengelolaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) dilimpahkan ke gubernur penerima, secara terbatas dari keputusan dan peraturan pusat.

Faktanya, temuan di lima provinsi penerima DBH-CHT memperlihatkan bahwa sangat sedikit pemerintah daerah tersebut yang melibatkan pihak legislatif serta masyarakat sipil dalam penentuan peruntukan DBH-CHT. Akibatnya, pengetahuan dan pengawasan berbagai pihak di luar lingkaran eksekutif menjadi minim, sehingga menjadi celah pihak eksekutif untuk ditafsirkan secara manasuka. (Halaman 131)

Tidaklah mengherankan jika kemudian banyak terjadi “penyeberangan” anggaran ke sasaran-sasaran yang keliru, misalnya, untuk membiayai belanja operasional rutin kantor yang semestinya telah dicakup dari sumber-sumber pembiayaan tetap (belanja barang dan belanja pegawai) dalam APBD.

Selain itu, dominasi rezim kesehatan dalam penggunaan DBH-CHT juga menimbulkan suatu ironi, khususnya bagi para petani tembakau, kalangan industri hasil tembakau, dan para konsumen pembayar utama cukai tembakau. Dengan sangat tendensius, semua kegiatan sektor kesehatan yang menggunakan dana itu justru melemahkan sektor pertanian dan industri tembakau, baik secara langsung maupun tidak. (Halaman 55)

Misalnya saja melalui penyebaran citra negatif terhadap tembakau dan rokok, upaya pengalihan lapangan kerja atau bidang usaha para petani tembakau dan pekerja industri hasil tembakau. Dengan dalih ‘peningkatan kualitas bahan baku’, maka marjinalisasi terhadap spesies-spesies tembakau lokal pun dilakukan sehingga para petani menjadi tergantung dengan benih impor.

Dikhawatirkan jika kecenderungan ini terus berlanjut, maka para petani tembakau dan industry hasil tembakau rakyat yang umumnya berskala kecil dan menengah akan menjadi korban yang paling menderita. Tanda-tandanya sudah mulai kelihatan dengan banyaknya industri tembakau kecil dan menengah yang gulung tikar sebagaimana terjadi di Malang, Kediri, dan Kudus. (Halaman 150)

Menurut kesimpulan buku setebal 190 halaman ini, terlalu besarnya kewenangan eksekutif menentukan arah penyaluran DBH-CHT, kekurangjelasan aturan mengenai besaran alokasi per kegiatan, dan sanksi yang relatif ringan jika terjadi penyalahgunaan, merupakan faktor-faktor penyebab munculnya persoalan dalam pengelolaan dan penggunaan DBH-CHT selama ini. 

Oleh karenanya, buku yang terdiri dari tim peneliti yang diketuai oleh Puthut EA ini memberikan sembilan penting yang harus dilakukan untuk membenahi status hukum dan pelaksanaan DBH-CHT. Sebagai hasil sebuah riset yang sarat data, buku ini juga mencantumkan lebih dari tuiga puluh halaman data pendukung yang validitasnya dapat diuji dan tidak diragukan lagi.

Harapannya, agar persoalan DBH-CHT dapat tersaji dengan jernih dan mampu mengetuk kesadaran pembaca atas sebuah persoalan yang sepertinya secara sengaja disimpan dalam laci terkunci agar tidak ada yang membukanya. Dengan kata lain, isu tembakau dan rokok yang selama ini seolah menjadi musuh bersama ternyata sebenarnya menjadi primadona pemerintah dan ladang pemasukan bagi negara.   


No comments:

Post a Comment