Judul: Masa Depan Islam: Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan Barat
Penulis: John L. Esposito
Penerjemah: Eva Y. Nukman dan Edi Wahyu SM
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, Desember 2010
Tebal: 343 Halaman
Harga: Rp.65.000.
Sepanjang sejarahnya, belum pernah Islam tersebar seperti sekarang ini di seluruh dunia dan berinteraksi dengan keyakinan serta masyarakat lain. Membentang dari Kairo hingga Jakarta di dunia muslim dan dari New York hingga Berlin di Barat. Bagi pemerintah Amerika dan negara-negara Eropa, memahami Islam dan Muslim kemudian menjadi kebutuhan domestik dan prioritas dalam kebijakan luar negeri mereka.
Meski demikian, tidak sedikit kalangan bingung memahami Islam dan Muslim mengingat paradoks yang menyertainya. Pemimpin kaum muslim menyatakan bahwa Islam adalah agama damai dan adil, namun Osama bin Laden dan teroris Muslim secara global membantai non-Muslim maupun sesama Muslim sendiri. George W. Bush menyebut Islam sebagai agama damai, tetapi penginjil Franklin Graham menyebut Islam agama setan. Samuel Huntington menuduh Islam berlumur darah, sebaliknya Barack Obama menyatakan Islam telah menunjukkan kata-kata dan perbuatan tentang peluang toleransi beragama dan kesetaraan ras.
Disinilah posisi penting buku ini. Penulisnya, Jhon L. Esposito, berusaha menunjukkan panorama Islam kontemporer lengkap dengan dinamika internal yang terjadi di dunia Muslim. Sebagai orang Amerika non Muslim, Ia lebih bisa didengar karena dianggap mampu memandang Islam secara lebih obyektif, apalagi Esposito merupakan pemikir kenamaan tentang Islam dari Georgetown University Amerika dan penafsir Islam paling otoritatif di negeri Paman Sam tersebut.
Komunitas Barat tidak bisa menutup mata terhadap perkembangan di dunia Muslim. Apa yang terjadi di dunia Muslim, akan berimbas terhadap dunia Barat juga. Karena menurut Esposito, Islam tidak hanya sebuah keyakinan yang mengilhami kesalehan pribadi dan menyuguhkan makna serta pedoman bagi kehidupan saat ini maupun nanti, namun Islam juga menjadi ideologi pandangan dunia yang menginformasikan politik dan masyarakat Muslim. (Halaman 21)
Selain itu, ketika membicarakan Islam, kenyataannya Islam tidaklah monolit. Ada beragam Islam atau penafsiran terhadap Islam. Citra, realitas dan umat Islam banyak dan variatif; secara religius, budaya, ekonomi dan politik. Kaum Muslim adalah mayoritas di lima puluh tujuh negara, dan mereka mewakili banyak kebangsaan, bahasa, suku dan marga serta adat istiadat. Terlebih porsi terbesar dari 1,5 milyar warga muslim dunia bukanlah bangsa Arab melainkan Asia dan Afrika. Inilah yang membuat Islam memiliki wajah beragam, sehingga mendekati dan memahaminya tidak dapat digeneralisir dengan satu pendekatan.
Harus diakui popularitas Islam di Barat menanjak semenjak tragedi 11 September 2001 -yang meluluh-lantakkan World Trade Center dan menerobos pusat kebanggaan militer Amerika, Pentagon- meskipun popularitas ini lebih berkonotasi negatif. Bahkan hingga kini, potret buram tersebut masih terasa. Sebuah ironi yang menunjukkan bahwa minat masyarakat Barat terhadap Islam, lebih disebabkan adanya asumsi bahwa Islam sebagai potensi berbahaya, tinimbang keagungan budaya.
Berlawanan dengan stereotype yang dianut mayoritas masyarakat Barat, Esposito menegaskan bahwa hampir semua umat Islam sama pedulinya dengan Barat terhadap bahaya ekstremisme dan terorisme. Bahkan, umat Islam-lah yang menjadi korban utama ekstrimis dan teroris Muslim. Mayoritas umat Islam menolak kekerasan dan terorisme, termasuk serangan 9/11, mencelanya sebagai yang tidak Islami serta mengancam keselamatan dan keamanan negara beserta penduduknya. (Halaman 215)
Ia juga membantah asumsi bahwa Islam tidak sesuai dengan semangat abad 21. Merujuk pada pemikirian para pemikir Islam kontemporer seperti Tariq Ramadhan, Syaikh Ali Gumah, Mustafa Ceric, Tim Winter, Heba Rouf dan para televangelis Islam seperti Amr khaled di dunia Arab dan Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) di Indonesia, yang sukses menyajikan wajah Islam secara aktual sekaligus renyah dan progresif tetapi tetap ramah dengan jutaan pengagum.
Dengan demikian masalah mendasar untuk pembangunan dan stabilitas jangka panjang di Arab dan Muslim bukan Islam atau gerakan Islam, melainkan pergulatan antara otoritarianisme dan pluralisme. Karena itu, fokus utama perhatian Amerika dan Barat semestinya bukan agama, melainkan perubahan politik, sosial, dan ekonomi di tempat umat Islam tinggal. Gelombang revolusi yang melanda Mesir dan beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya yang tengah berlangsung saat ini, bisa menjadi bukti shahih atas teorinya ini. Mengingat gerakan tersebut lebih disebabkan oleh faktor sosial ekonomi yang menjadi isu utama demonstran.
Buku berjudul lengkap Masa Depan Islam: Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan Barat ini, disebut oleh penulisnya sebagai puncak karyanya dalam kajian Islam dan politik kaum Muslim. Sayangnya di buku ini, Esposito seolah mengamini teori Huntington dengan clash of civilization-nya. Hal ini terlihat dari digunakannya terminologi Barat dan Islam secara vis a vis. Padahal sebagaimana banyak dikritik banyak kalangan, oposisi biner tersebut sangat tidak tepat, mengingat Barat merujuk pada konteks geografis sedangkan Islam religiusitas.
Meski demikian dengan kekayaan data yang dapat dipertanggungjawabkan ditambah kekuatan analisa penulisnya yang bernas, tidak mengherankan jika buku ini menjadi rujukan wajib baik bagi para akademisi maupun kalangan umum mengenai politik Islam, disertai ketulusan yang ditunjukkan Esposito demi terciptanya hubungan yang harmonis antara penghuni semesta, membuat buku ini patut diapresiasi selayaknya. Tidak keliru jika Karen Armstrong dalam pengantar buku ini menyatakan Esposito mampu menyarikan pengantar panorama Islam kontemporer secara jelas dan informatif.
No comments:
Post a Comment