Judul Buku: Indonesia Jungkir Balik
Penulis: Adhitya Mulya, dkk.
Penerbit: Noura Books
Cetakan: I, Desember 2012
Tebal: 177 Halaman
Menyaksikan “wajah” Indonesia
dewasa ini, terutama melalui media televisi, nyaris tidak ada yang membanggakan,
bahkan cenderung membuat miris. Betapa tidak, kasus pembunuhan, pemerkosaan, narkoba
hingga penyakit kronis bernama korupsi, seolah berdesakan menampilkan negatifitas
sosok Indonesia.
Sedangkan acara “siraman
rohani”-nya, kebanyakan diisi para ustad genit dan disaksikan ibu-ibu majelis
ta’lim yang lebih mirip cheerleaders.
Ustadz-ustadz mudanya, yang mengajari hidup sederhana dan bersabar menghadapi
berbagai ujian Tuhan, tetapi kehidupan mereka sendiri kelewat glamour bak gaya
hidup orang kaya baru kesurupan.
Celakanya lagi, idiomatik
religious-keagamaan seperti “assalamualaikum”, “subhanallah”, “astagfirullah”,
insya Allah” atau kalimat-kalimat berbahasa Arab lainnya yang menjadi parameter
kesalehan seseorang di permukaan, hanya sekedar tempelan bagi percakapan yang
sama sekali tidak memiliki nuansa rohani dan lebih kentara hipokrisi.
Demikianlah salah satu ungkapan
kegalauan Fahd Djibran sebagaimana dituangkan dalam buku berjudul Indonesia Jungkir Balik ini. Fahd tidak sendirian, dalam buku yang
dikemas secara unik dan menarik ini, ada sembilan penulis lainnya yang
menyuarakan unek-unek mereka atas Indonesia dengan segenap problematika. Mereka
adalah Adhitya Mulya, Bre Redana, Boim Lebon, Prie GS, Beby Haryanti Dewi,
Ainun Chomsun, Iwok Abqary, Muhammad Yusran Darmawan, dan Edhie Prayitno Ige.
Buku yang terdiri dari dua
bagian dimana satu bagian dengan bagian lainnya dibuat secara terbalik ini, memaparkan
sosok Indonesia yang jungkir balik secara lugas dan apa adanya berdasarkan sudut
pandang penulisnya yang beragam serta pengalaman mereka masing-masing. Mulai
dari agama, pendidikan, politik, hukum, dan lain-lain.
Adhitya Mulya misalnya,
berusaha mengurai benang kusut yang menyebabkan maraknya korupsi di negeri ini.
Padahal, seratus persen manusia Indonesia memiliki agama yang nota bene mengharamkan
pratik korupsi. Sebaliknya, Swedia yang 23% penduduknya ateis, justru dikenal
lebih bersih dari korupsi dan menempati peringkat ketiga dunia, jauh di atas
Indonesia yang menempati peringkat ke-100. (Halaman 36)
Dua solusi ditawarkannya untuk
mengatasi tersebut; Pertama, metode
pendidikan agama yang harus dibenahi. Agama bukan hanya dipahami sebatas
hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga manusia dengan sesamanya. Kedua, mengkaji dan menyaring kembali
cerita rakyat, dengan hanya memeberikan cerita yang baik dan bermanfaat.
Pada bagian lain,
carut-marutnya pendidikan di Tanah Air juga menjadi perhatian Edhie Prayitno Ige, yang
menyimpulkan tidak adanya kesungguhan dari pengelola negeri (pemerintah)
sebagai biang kerok persoalan tersebut. Dua puluh persen APBN dan APBD untuk
pendidikan lebih banyak digunakan untuk kegiatan “meningkatkan kapasitas” guru.
Padahal, lebih dari separuhnya
adalah untuk honor panitia dan uang saku serta konsumsi dan akomodasi panitia.
Sedangkan hal yang lebih urgen dibutuhkan dalam pendidikan anak seperti adanya
riset mengenai kebutuhan anak untuk kemudian disusun program yang sesuai dengan
kebutuhan mereka, malah tidak pernah dilakukan secara serius. (Halaman 11-13)
Indonesia Jungkir Balik dapat dipahami sebagai Indonesia yang penuh paradoks. Mulai dari yang
negatif hingga positif. Kaya secara sumber daya alam, namun miskin secara
ekonomi masyarakatnya. Kaya akan kebudayaan dan kearifan lokal, namun lebih
menyukai kebudayaan dari luar. Dikenal sebagai masyarakat yang ramah dan
toleran, tapi kerusuhan massa akibat sentimen SARA masih kerap terjadi. 100
persen masyarakatnya beragama, namun korupsi merajalela.
Tak pelak, suara pesismis lebih
kerap terdengar jika memperbincangkan masa depan Indonesia. Melihat
tanda-tandanya, beberapa kalangan bahkan menyebut Indonesia terancam menjadi
negara gagal (failed state). Meski
demikian, sebagaimana dikatakan Prie GS, betapa pun ruwet keadaan negara ini,
betapa pun mengecewakan perilaku politisinya, namun pintu kebahagiaan selalu
terbuka di dalamnya.
Buku setebal 177 halaman ini
berusaha menyalakan pelita bagi
Indonesia dengan mengobarkan
semangat optimisme atas masa depannya kepada pembaca. Paparan, keluh kesah
serta kritikan tajam yang terdapat di dalamnya merupakan ekspresi optimisme
sekaligus cinta dari para penulisnya terhadap Indonesia saat ini dengan cara menyuguhkan
potretnya yang serba kekurangan untuk kemudian melakukan langkah-langkah
konkrit untuk bangkit.
Dengan kata lain, karya gotong
royong ini mencoba membaca Indonesia dari beragam sudut kebudayaan, ekonomi,
padangan politik, serta social dari masing-masing penulisnya yang berbeda-beda.
Akan tetapi perbedaan tersebut memiliki satu benang merah yang sama; kecintaan
terhadap negeri bernama Indonesia.
No comments:
Post a Comment