Judul Buku: Jihad Julia: Pemikiran Kritis & Jenaka Feminis Pertama di Indonesia
Penulis: Julia Suryakusuma
Penerbit: Qanita
Cetakan: Pertama, November 2010
Tebal: 240 halaman
Kesan pertama membaca judul buku ini adalah berisikan pemahaman Jihad, atau minimal di dalamnya memotret perjuangan menegakkan Jihad penulisnya. Namun rupanya asumsi tersebut buyar seiring dengan pembacaan yang saya lakukan atas muatan buku ini.
Berisi pikiran-pikiran seorang penulis dan aktivis perempuan yang karya-karyanya lebih banyak lahir berbahasa Inggris daripada Indonesia bernama Julia Suryakusuma. Buku ini sendiri merupakan kumpulan tulisannya di The Jakarta Post dan Tempo Edisi Bahasa Inggris (TEBI).
Buku berjudul lengkap Jihad Julia: Pemikiran Kritis & Jenaka Feminis Pertama di Indonesia ini, hemat saya kurang sesuai dengan substansi yang dimaksud dalam tulisan-tulisannya dan pijaran gagasan dalam pemikirannya. Kata “Jihad” seharusnya lebih mengena dan pas bila diganti dengan “ijtihad”. Mengapa?
Jihad, sejauh yang saya pahami, lebih cenderung pada kerja fisik dan mental. Seperti berperang di jalan Allah, mencari nafkah, mencari ilmu, dan lain-lain yang akumulasinya dan merupakan supremasi Jihad tertinggi adalah memerangi hawa nafsu diri kita sendiri.
Jika menggunakan sarana rohani atau spiritualitas, dengan jalan berdzikir bersama, berdo’a, shalawat dan lain-lain biasa dikenal dengan istilah Mujahadah. Kaum Nahdliyyin, sebutan untuk warga Nahdlatul Ulama (NU), dikenal “pemilik hak paten” ritual ini.
Sedangkan Ijtihad, merupakan kerja rasionalitas manusia berupa pemikiran untuk mencari kebenaran, materialnya adalah akal. Inilah yang saya anggap cenderung lebih cocok disematkan sebagai judul buku setebal dua ratus empat puluh halaman ini tinimbang kata Jihad. Bukankah di dalamnya berisi pemikiran kritis seorang Julia? Terlebih dalam subjudul-nya pun tersurat kata Pemikiran Kritis.
Meski demikian hal tersebut tidak mereduksi substansi yang terkandung di dalam buku ini. Berisikan 32 artikel yang ditulis Julia dalam rentang waktu 2006-2007, buku ini sebagaimana yang dikatakan Komaruddin Hidayat dalam pengantarnya, merupakan kesaksian seorang muslimah di garis batas, dikarenakan dua hal: latar belakang formal akademisnya yang tidak berkaitan dengan studi keislaman, namun kedua, tulisan-tulisannya dalam buku ini merefleksikan gugatan kritis atas pemahaman keislaman masyarakat. (halaman. 17).
Tulisan-tulisan Julia dalam buku ini merupakan refleksi pemikirannya yang muncul dari pergaulan intelektual, emosional, dan bacaan yang luas dan dalam, serta pergaulannya yang kosmopolit. Semua itu kemudian diperkuat dengan kemampuannya menulis dengan narasi yang mengalir, kritis, dan disertai contoh-contoh konkret yang dia lihat dan alami dalam kehidupan sehari-hari, entah faktual atau sekedar fiktif.
Salah satu bukti kemampuannya dalam menangkap realitas dan menuangkannya dalam sebuah tulisan yang enak dibaca, baik karena kekenesannya maupun daya kritisnya nan memikat adalah dalam artikel berjudul Dijual: Surga dan Neraka.
Berisikan keprihatinan Julia atas fenomena kapitalisasi agama. Ia menyoal maraknya kegiatan tanpa makna agama sama sekalipun, kini bisa dianggap dakwah, yang seharusnya dimaksudkan untuk menyampaikan kebenaran dan “outreach” Islam. Namun kini, pergi berlibur, melakukan berbagai tugas keluarga, melakukan bisnis, kesenian dan bahkan peragaan busana kerap menggunakan label agama. (halaman 142).
Daya gugatnya juga menjalar ke berbagai lanskap kehidupan, termasuk sosial dan politik. Secara enteng, misalnya, ia menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara kanibal, pemakan sesamanya. Imbas kegusarannnya terhadap pengungkapan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, yang disinyalir dilakukan oleh (oknum aparat) negara dan hingga kini masih tertutup kabut misteri siapa dalang utamanya. Bahkan ada indikasi pemerintah SBY seakan tak acuh.
Sayangnya, sebagai seorang penulis, Julia pun tidak luput dari subyektifitasnya. Daya kritisnya menjadi tumpul ketika ia berbicara mengenai mantan koleganya yang juga mantan Menteri Keuangan yang tersandung kasus Bank Century, Sri Mulyani Indrawati.
Bahkan segudang puja-puji ia alamatkan secara deras terhadapnya. Sangat kontras dan diametral dengan kritikan tajam yang dialamatkan kepada agamawan, politisi maupun perilaku sosial masyarakat Indonesia. Secara berlebihan Julia bahkan menyandingkan Sri Mulyani dengan Margaret Thatcher, mantan perdana menteri perempuan paling berkuasa sepanjang sejarah Inggris!
No comments:
Post a Comment