Judul Buku: Mata Air Keteladanan, Pancasila dalam Perbuatan
Penulis: Yudi Latif
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, Maret 2014
Tebal: 672 Halaman
Aksi kekerasan fisik yang dilakukan oleh sekelompok orang
yang bermaksud memaksakan kehendaknya secara inkonstitusional serta melanggar
hukum terhadap pihak dan kelompok lain, akhir-akhir ini marak terjadi dan
menghiasi berbagai pemberitaan media massa di Tanah Air.
Salah satunya adalah penyerangan terhadap rumah seorang
warga yang menggunakan rumahnya sebagai tempat ibadah di Sleman, Yogyakarta. Bahkan
sebuah makam yang ramai diziarahi warga juga menjadi sasaran perusakan beberapa
orang yang tidak bertanggungjawab di kota yang sama.
Apapun motif dan dalihnya, pemaksaan kehendak tidak dapat
dibenarkan. Terlebih jika berbenturan dengan landasan dasar berbangsa dan
bernegara bernama Pancasila. Sejak disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus
1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) negara, pandangan
hidup, ideologi nasional, dan ligatur (pemersatu) dalam perikehidupan
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Singkat
kata, Pancasila menjadi dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang
penuntun (leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai
tujuannya. Sehingga pengingkaran terhadap Pancasila dapat dikatakan sebagai
pengingkaran terhadap eksistensi Republik Indonesia itu sendiri.
Akan
tetapi, tumbuhnya kelompok-kelompok yang secara terang-terangan menyatakan
penolakannya terhadap Pancasila harus disikapi secara serius oleh pemerintah
yang berkuasa. Setidaknya menjadi cermin atas pengejawantahan nilai-nilai yang
dikandung Pancasila yang luhur tersebut dalam implementasinya sehari-hari.
Faktanya, beragam
rezim yang silih berganti berkuasa di negeri ini tidak ada satu pun yang
benar-benar mampu mewujudkan nilai-nilai Pancasila secara ideal. Entah karena
Pancasila sendiri yang teramat tinggi “terbangnya” sehingga sulit dijangkau,
atau justru karena minimnya tingkat keseriusan para penguasa untuk
mengimplementasikan daya linuwih Pancasila itu sendiri.
Bahkan,
semenjak bergulirnya reformasi 1998, citra Pancasila semakin memudar seiring
lebarnya jurang pemisah antara nilai-nilai ideal yang dikandungnya, dengan
realitas sosial yang terjadi. Selain itu, pemerkosaan atas Pancasila pada masa
Orde Baru, yang menjadikannya sebagai alat represi, memunculkan phobia
pada sebagian masyarakat.
Padahal
ketika nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut diaktualisasikan
dalam perbuatan oleh para pemimpin dan panutan masyarakat, maka selain dapat
menjaga wibawa Pancasila itu sendiri, juga dapat menginspirasi banyak orang
terutama para pemuda dan pelajar akan nilai-nilai Pancasila secara konkrit.
Upaya
itulah yang dicoba dihadirkan oleh Yudi Latif,
seorang intelektual yang produktif dalam buku berjudul Mata Air Keteladanan,
Pancasila dalam Perbuatan ini. Sebuah ekspresi kecintaan terhadap ideologi
dasar bangsa sekaligus merefleksikan kekhawatirannya atas realitas yang terjadi
pada masyarakat dewasa ini yang ternyata jauh dari nilai-nilai yang dikandung
Pancasila.
Disusun berdasarkan tema utama yang diusung dalam lima
sila dari Pancasila. Yudi mendedah secara mendalam realisasi nilai-nilai dalam
tiap tema tersebut dalam konteks berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Urutan butir-butir setiap sila disusun secara sequential, bahwa suatu butir (pokok pikiran) dengan sendirinya
secara logis akan diikuti oleh butir lain sebagai konsekuensinya.
Sederet tokoh tidak lupa dihadirkan sebagai contoh
pelaksana Pancasila yang dapat dijadikan teladan. Dari kalangan agamawan sebagai
mata air keteladanan dalam pengamalan ketuhanan muncul nama-nama seperti; K.H.
Hasyim Asyari dan putranya Wahid Hasyim, Ahmad Dahlan, Ki Bagoes Hadikoesoemo,
Hamka, Albertus Sugijapranata, Todung Sutan Gunung Mulia, dan Bhikku Ashin
Jinarakkhita. (Halaman 99)
Sila kedua yang disebutnya mengandung visi yang humanis,
dengan komitmen besar untuk menjalin pergaulan dunia serta dalam pergaulan
antar sesama anak negeri berlandaskan nilai keadilan dan keadaban yang
memuliakan HAM, ia menghadirkan sosok seperti Tan Malaka, Munir, Yap Thiem Hein, Hoegeng, Baharudin Lopa
sebagai panutan yang layak diapresiasi.
Berbagai tindakan dan kebijakan yang bertentangan dengan
perikemanusiaan seharusnya tidak mewarnai perilaku aparatur negara dalam
kehidupan publik. Kekerasan, kemiskinan, ketidakadilan harus dihapuskan dari
perikehidupan berbangsa. Penegakan Hak Asasi Manusia tidak terbatas pada
pemuliaan hak politik, melainkan juga hak ekonomi dan budaya. (Halaman
242)
Sebagaimana sila pertama dan kedua, tiga sila berikutnya
diuraikan secara jernih dan dalam. Kemasannya yang apik, ringan dan reflektif
membuat pembaca dapat dengan mudah mengikuti tiap tema dan bab yang disajikan.
Sedikit menjadi perdebatan ketika Yudi menyebut nama-nama
yang saat ini tengah popular di masyarakat seperti Joko Widodo dan walikota
Surabaya, Tri Rismaharini sebagai contoh pemimpin yang menunaikan
pertanggungjawaban publik. Mengingat kedua sosok yang disebut tersebut hingga
saat ini masih eksis berproses sebagai pejabat publik.
Penyebutan keduanya, berpotensi meruntuhkan kepercayaan
pembaca atas obyektifitas Yudi dalam menulis buku setebal 672 halaman ini jika
di kemudian hari tokoh-tokoh tersebut melakukan kebijakan dan berperilaku yang kontraproduktif
dengan yang ditafsirkannya sebagai pemimpin yang Pancasilais dan
bertanggungjawab.
Meski demikian, secara keseluruhan upaya meneguhkan
kembali nilai-nilai Pancasila serta menghadirkannya ke tengah masyarakat patut
diapresiasi. Terlebih ketika terjadi banyak peristiwa dan kelompok yang secara
terang-terangan melakukan penolakan bahkan serangan terhadap Pancasila sebagai
ideologi negara yang telah terbukti mampu menyatukan beragam kelompok menjadi
sebuah bangsa yang merdeka. Setidaknya di masa lalu.
No comments:
Post a Comment