Koran Sindo, 23 Juni 2013
Judul Buku: Camera Branding: Cameragenic vs Auragenic
Penulis: Rhenald Kasali
Penerbit: Gramedia
Cetakan: I, Mei 2013
Tebal: 401 Halaman
Tahukah anda, rata-rata orang Indonesia berhubungan
dengan kamera setidaknya dua kali sehari, dan membuka layar kaca beberapa kali
setiap hari ? Dan sebanyak 245 juta ponsel yang telah dimiliki rakyat negeri
ini, 50% diantaranya adalah smartphone
?
Angka-angka di atas menunjukkan betapa keberadaan kamera menjadi begitu dekat
melekat erat dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan disadari atau kita,
masyarakat kita semakin terbiasa baik sekedar berpose hingga melakukan akting
alias berpura-pura di depan kamera.
Hal demikian turut dipicu oleh kehadiran televisi yang menjadi
jendela informasi sekaligus sarana hiburan yang digemari kebanyakan orang
Indonesia. Hasil penelusuran Nielsen Audience Measurement menunjukkan bahwa
pada tahun 2012 lalu 94 persen masyarakat Indonesia mengkonsumsi media melalui televisi.
Walhasil, televisi telah menjadi media yang sangat
berpengaruh terhadap perilaku, gaya hidup dan pola pikir masyarakat secara massal.
Apa yang tersaji di layar kaca, dapat disaksikan publik dengan jangkauan yang
luas hingga ke ruang-ruang privat keluarga.
Tidaklah mengherankan jika kemudian tidak sedikit orang dan
barang yang berebut tampil di depan lensa kamera. Mulai dari orang biasa,
selebritis, hingga politisi. Sebagian sukses menjadi panutan dan idola, tidak
sedikit pula yang menjadi pesakitan sasaran kritik dan hujatan.
Fenomena inilah yang disebut dalam buku berjudul lengkap Camera
Branding: Cameragenic vs Auragenic ini,
sebagai peradaban kamera dan Social TV. Sebuah peradaban di depan lensa
yang secepat kilat memantulkan citra, muncul, tayang, dan beredar di tangan
pemirsa. Peradaban yang mampu melipat jarak dan status sosial.
Di depan kamera, baik saku,
kamera ponsel, terlebih kamera televisi, kita menata kemasan, display,
toko, rumah, produk dan wajah kita. Tidak ada yang asli semua hanyalah akting,
kecuali hidden atau candid camera. Seperti halnya artis yang
memakai bulu mata palsu atau politisi yang beradu argumen dan berebut bicara.
Semua menciptakan dan menjual brand.
Harus diakui sejarah
pembentukan brand tidak pernah luput dari televisi. Bila seseorang belum
tampil dan menjadi perhatian publik di televisi, maka ia belum menjadi “brand”.
Berbeda dengan branding biasa, camera branding dibentuk oleh
prinsip-prinsip kamera, khususnya Social TV yang menimbulkan
keterlibatan, dialog, umpan balik seketika (real time), komunitas, dan story
telling.
Singkatnya, camera
branding adalah sebuah teknik dan peradaban untuk mengangkat keluar sebuah
nama dari kerumunan menjadi a branded
name, yaitu sebuah kekuatan intangible
yang tak kelihatan namun memiliki daya pengaruh yang lebih kuat dari nama
biasa.
Dalam peradaban kamera, branding yang semula pasif bergeser menjadi active branding. Dalam peradaban ini, siapa atau apa saja belum
menjadi brand, bila belum memiliki
kekuatan cameragenic dan auragenic sekaligus, seberapa pun bagus
atau berkinerjanya hal itu.
Cameragenic hanya menekankan pada aspek attractiveness subjek di hadapan kamera, karena hal itu akan menentukan
apakah mata dan pikiran pemirsa ingin terus melihat atau cepat merasa bosan.
Dengan kata lain, cameragenic
merupakan kesan yang ditangkap dari tampilan fisik.
Sedangkan auragenic
adalah apa yang dirasakan pemirsa tentang sesuatu yang dilihat di layar kaca. Auragenic tidak bisa didapat dari objek
yang diam. Karena televisi mendeteksi gerakan, suara, pendapat, dan respons
seseorang, maka ia menciptakan interaksi yang di dalamnya dibentuk rasa, apakah
orang lain merasa nyaman atau tidak dengan kehadiran anda atau produk anda.
Hal ini dikarenakan aura
bersumber dari sikap dan respons yang diberikan seseorang. Bila seseorang
berpandangan dan berperilaku negatif, maka ia dapat menimbulkan aura negatif.
Demikian pula sebaliknya. Namun orang-orang yang memiliki auragenic
biasanya mampu menekan sifat-sifat negatif pada dirinya.
Cameragenic dapat dipelajari, tetapi auragenic hanya bisa dibangun dengan self awareness yang kuat. Terdapat sepuluh elemen yang harus
diperhatikan ketika hendak membangun camera
branding dan auragenic: authentic,
unik, intangibles, fokus, gallery mindset, connected, meaningfull, consistently
delivered, flavor, sustainable.
Buku yang ditulis oleh Rhenald Kasali, praktisi manajemen
kenamaan dan penulis serangkaian buku perubahan dan manajemen yang menjadi bestseller di Tanah Air, seperti: Recode Your Change DNA, dan Myelin ini, bertujuan untuk mengingatkan semua pemimpin, baik tokoh publik maupun
pemimpin pasar, untuk meninjau ulang pandangan-pandangannya tentang branding.
Meninjau kembali
perilaku-perilaku mereka di depan kamera yang hanya mengedepankan penampilan (appearance)
yang bersifat menarik (attractive) cenderung pencitraan dan hanya
bermodalkan fisik menjadi interaksi yang membentuk aura.
Dengan demikian, keberadaan buku setebal 401 halaman ini sebagaimana dikatakan oleh Anies
Baswedan, mengajak kita membaca perubahan yang terjadi dalam industri
pertelevisian, khususnya TVRI, sebagai pelajaran untuk berani menciptakan
perubahan dan tangguh mengelolanya. Juga menjadi penonton yang bijaksana.
Selamat datang dalam peradaban sadar kamera.
No comments:
Post a Comment