Judul Buku: Hatta; Aku Datang Karena Sejarah
Penulis: Sergius Sutanto
Penerbit: Qanita
Cetakan: I, 2013
Tebal: 343 Halaman
Sepanjang
Repubik Indonesia masih berdiri, namanya akan selalu dikenang sebagai salah
satu dari dua penandatangan teks proklamasi kemedekaan yang dikumandangkan pada
Jumat pagi 17 Agustus 1945. Pernyataan yang menegaskan tekad bangsa Indonesia untuk
lepas dari cengkeraman para penjajah.
Sebuah
impian yang pada awalnya dianggap utopis. Perjuangan yang tidak mudah bahkan
nyaris mustahil, mengingat luasnya wilayah dan banyaknya suku bangsa yang harus
disatukan dalam sebuah negara bangsa (nation
state) yang berdaulat, plus
minimnya fasilitas serta ketatnya pengawasan dan intimidasi pemerintah kolonial.
Kondisi
demikian tidak menyurutkan langkah Muhammad Hatta, serta para sahabat
seperjuangannya seperti Syahrir, Tan Malaka dan Soekarno pada waktu itu. Untuk
sementara mereka mampu meredam friksi yang timbul karena perbedaan ideologi dan
suku sehingga mencapai satu kata mufakat; merdeka.
Kesadaran
bahwa perubahan besar hanya dapat dilakukan oleh kalangan intelektual yang terorganisir
dan bersatu, untuk sementara mampu mengeliminir sekat-sekat primodial dan membangkitkan
euforia kemerdekaan serta menularkannya pada rakyat kebanyakan. Dari sejarah
mereka belajar, bahwa konfontasi yang bersifat lokal senantiasa gagal.
Lalu bagaimanakah
kiprah serta sepak terjang Muhammad Hatta dalam menyemai benih kemerdekaan pada
masa yang mendebarkan dan menentukan tersebut ? Buku berjudul Hatta; Aku
Datang Karena Sejarah ini berusaha
menghadirkan sosok yang dikenal bersahaja tersebut mulai dari masa kecil hingga
usia senja dalam sebuah kisah yang menarik untuk diarungi pembaca.
Hatta memang jauh berbeda dengan sosok Soekarno
yang hingga kini kesan yang ditimbulkannya penuh dengan gempita dan gemuruh
kata-katanya masih terdengar hingga saat ini. Hatta adalah sosok yang
sederhana, yang lebih memilih mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden
yang diembannya selama sebelas tahun dan menjadi rakyat biasa akibat perbedaan
pandangan dengan Soekarno yang semakin tajam.
Dalam bahasa Sergius Sutanto, penulis novel ini,
Hatta lebih memilih “kemanusiaan” daripada “kedudukan”. Baginya, rakyat tidak
bisa melulu dicekoki oleh agitasi dan jargon-jargon. Yang mereka butuhkan
adalah pembelajaran, pendidikan yang akan mencerdaskan pemikiran guna meneropong
masa depan. Pegawai jangan berpartai karena akan merusak suasana kerja dan
hanya mendekatkan pada jalan curang. (Halaman 272)
Pilihan mundur pada 1 Desember 1956 diambilnya
karena satu persoalan yang dianggapnya sangat mendasar. Bukan karena Soekarno
yang semakin masyuk dengan perempuan, atau korupsi yang mulai menggerogoti
rezim. Bukan pula karena kedekatan Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia
(PKI). Hatta tidak mau menjadi penonton sirkus yang dipaksa bersorak usai
pentas, padahal pentas itu sama sekali tidak menyenangkan hati. (Halaman 19)
Memang, sedari kecil kutu buku kelahiran
Bukittinggi 12 Agustus 1902 ini dikenal sebagai sosok yang teguh pendirian. Kehilangan
figur ayah kandung sejak usia delapan bulan, bisa jadi membentuk kepribadian
tersebut. Kondisi itu pulalah yang membuatnya menjadi begitu dekat dengan Siti
Saleha, ibu kandungnya. Sosok yang paling didengar nasehatnya.
Sebagaimana masyarakat Bukittinggi pada umumnya,
Hatta dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang agamis. Bahkan kakeknya,
Datuk Syaikh Abdurrahman adalah seorang guru agama ternama sekaligus ahli
Tarikat yang bergelar Syaikh Nan Tuo. Tidaklah mengherankan jika Hatta kecil
sempat bercita-cita untuk menimba ilmu ke Mekkah dan Al-Azhar, Mesir dan
menjadi seorang ulama terkemuka.
Jika saja sang ibu tidak melarangnya untuk pergi ke
Mekkah, maka bisa jadi Indonesia tidak akan mengenalnya sebagai seorang
proklamator kemerdekaan dan dwitunggal bersama Soekarno. Hatta juga tidak akan memiliki
sosok sahabat yang sangat dikagumi karena pemikiran dan sikap hidupnya, Sutan
Syahrir, yang meninggal di Zurich sebagai tahanan politik Soekarno. (Halaman
316)
Memang, hubungan antara Soekarno, Muhammad Hatta
dan Sutan Sjahrir cukup karib namun pelik. Sjahrir yang sosialis dan sangat
benci dengan arogansi kepemimpin sejak awal kerap berpolemik dengan Soekarno.
Pertengkaran-pertengkaran kecil antar keduanya tak jarang terjadi, meski
sama-sama menjadi kaum buangan Belanda ke daerah Toba.
Bertiga sudah mereka tapaki jalan berliku sejak
usia muda. Timbul tenggelam, jatuh bangun bersama, saling kritik, saling diam,
tebalut dalam satu ruang bernama persahabatan, pertemanan yang mengharu biru
yang menyisakan banyak tanya di dalamnya. Pula, menyimpan bara yang justru
memanas ketika menuju usia senja.
Dalam zaman yang sedang bergeliat cepat. Ketika masyarakat
terpenjara oleh hiruk pikuk jagat hiburan layar televisi yang mempromosikan kedunguan
serta candu jejaring sosial yang lebih sering mengabarkan berita kabur, kehadiran
buku-buku yang mengusung tokoh-tokoh besar yang layak dijadikan panutan beserta
segenap gagasannya, layak diapresiasi.
Termasuk sosok Bung Hatta, yang dijuluki media
Jepang pata tahun 1933 sebagai Gandhi of Java karena sikap dan
perjuangannya, yang dikisahkan dalam buku setebal 343 halaman ini. Diharapkan
mampu menjadi setitik nyala dalam
gulita, atau setidaknya mampu memperkaya literatur bacaan mengenai sosok
pejuang kemedekaan yang digambarkan selalu berkacamata ini.
Dengan memadukan antara biografi, catatan-catatan
dan surat-surat Bung Hatta serta diintrepretasikan secara lugas dan dikemas
dalam bentuk cerita, Sergius berhasil menyuguhkan sosok penggagas koperasi di
Indonesia ini secara lebih dekat dan personal kepada pembaca. Hasilnya, nuansa
pergerakan, politik dan agama sangat kental mewarnai novel ini. Sebagaimana
kondisi zaman yang melingkupi tokoh utamanya, Hatta, Sang Gandhi dari Indonesia.
No comments:
Post a Comment