Penulis: Roso Daras
Penerbit: Imania
Cetakan: Pertama, September 2010
Tebal: 178 halaman
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Demikian kata-kata bijak bestari yang selalu kita dengungkan. Pengakuan dan perlakuan terhadap sosok pahlawan dengan demikian menjadi ciri utama kebesaran suatu bangsa karena hal itu menunjukkan bagaimana mentalitas bangsa tersebut.
Jika demikian, Lalu sebagai bangsa yang konon besar sudahkah kita membuktikannya dengan menghargai para pahlwan kita? Setidaknya ada tiga jenis “pahlawan” yang biasa kita dengar di negeri ini. Pahlawan devisa, pahlawan tanpa tanda jasa dan pahlawan nasional.
Pahlawan devisa biasa digunakan, terutama oleh pemerintah, kepada para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Peranan mereka demikian besar terhadap pemasukan devisa bagi negeri ini sehingga perlu disebut pahlawan devisa.
Sayangnya, pemerintah negeri ini sepertinya tidak memperlakukan mereka layaknya pahlawan. Hampir tiap hari kita dengar nasib buruk menimpa para TKI, kasus-kasus penyiksaan, gaji tidak dibayar, pemerkosaan hingga pembunuhan serasa akrab ditelinga.
Istilah pahlawan tanpa tanda jasa biasa dilekatkan pada sosok pengajar alias guru. Belakangan, sosok ini mulai menunjukkan perbaikan standar hidup, terutama yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan peningkatan gaji yang diterimanya.
Terakhir adalah Pahlawan Nasional. Ia bisa saja Pahlawan revolusi, pahlawan Kemerdekaan maupun sederet nama dan istilah lain. Intinya yang memiliki andil dalam proses penting eksistensi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan nama Ir. Soekarno berada paling depan deretan ini.
Soekarno adalah Indonesia, dan sejarah Indonesia identik dengan Soekarno. Demikian yang terbayang dibenak kita ketika mengingat sosok ini. Jika tidak dilahirkan seorang Soekarno di negeri ini, maka sangatlah sulit membayangkan bahwa republik bernama Indonesia ini akan memperingati dirgahayu-nya setiap tanggal 17 Agustus.
Namun karya jurnalis Soekarnois bernama Roso Daras ini, bukan sekedar memaparkan jasa-jasa seorang Soekarno yang sudah dimafhumi banyak kalangan. Buku setebal seratus tujuh puluh delapan halaman ini memotret hal ihwal yang selama ini dianggap luput menjadi perhatian publik, kecuali para sejarawan yang expert di bidangnya.
Sehingga dengan demikian kehadiran buku berjudul lengkap Bung Karno: The Other Stories 2, Serpihan Sejarah yang Tercecer ini menyuguhkan sesuatu yang baru kepada pembaca sejarah Soekarno yang selama ini berusaha ditutup-tutupi oleh sebagian kalangan.
Begitu kaya dan kompleksnya daya tarik sosok Soekarno, sehingga kita dapat menariknya ke dalam berbagai dimensi. Mulai dari nasionalismenya yang melegenda, pemikirannya yang hingga kini masih terasa aksentuasinya, kharisma dalam gayanya berorasi sehingga dijuluki penyambung lidah rakyat, gaya berpakaiannya yang selalu terkesan necis dan rapi, wanita cantik yang mengelilinya, hingga hal-hal yang “misterius” yang menyelubungi sosoknya.
Namun yang sering dilupakan orang adalah membaca Soekarno juga merupakan sebuah ironi yang tragis dari bangsa yang mengaku besar ini. Betapa tidak, besarnya jasa seorang Soekarno bagi bangsanya ternyata dikemudian hari ia harus ditikam dari belakang oleh para anak buahnya yang notabene merupakan kaumnya sendiri berbangsa Indonesia.
Dengan penuh kontroversi, ia dijungkalkan dari kekuasaannya oleh Soeharto, penguasa Orde Baru dengan dalih Supersemar yang dikeluarkannya sendiri. Nahasnya, ia sudah melakukan klarifikasi habis-habisan mengenai apa itu Supersemar, toh tidak digubris oleh Soeharto cs.
Kegetiran tidak berhenti sampai disitu, pahlawan utama dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia dan telah keluar masuk penjara kolonial Belanda serta dibuang ke berbagai pulau terluar nusantara ini bahkan harus mengalami tahanan rumah di akhir hayatnya, oleh orang-orang dari republik yang ia perjuangkan kemerdekaannya. (halaman 117)
Bahkan dalam kondisi sakitnya di Wisma Yaso, Bung Karno diserahkan perawatannya oleh penguasa kepada dr. Soeroyo, yang bukanlah seorang dokter spesialis, melainkan dokter hewan. Obak-obatan yang diberikan pun terkesan untuk membunuhnya secara diam-diam, karena seringkali tidak cocok dan menimbulkan efek samping yang lebih menyiksa si Bung.
Perawatan yang sembrono juga sering terjadi. Ketika pada suatu malam Bung Karno terbangun dan muntah darah, Soeroyo hanya memberinya vitamin. Sementara Mahar Mardjono yang disebut sebagai ketua tim kesehatan, sama sekali tidak pernah menampakkan batang hidungnya ke Wisma Yaso.
Buku ini mengandung nada gugatan seorang Soekarnois, yang kecintaannnya terhadap Bung Karno selain karena pemikirannya juga disebabkan kecintaan si Bung yang menggelora terhadap tanah Airnya.
Sekali lagi, “membaca” Soekarno seolah-olah membaca sebuah tragika bernama Indonesia. Betapa bangsa yang mengaku besar ini, penguasanya kerap memperlakukan buruk terhadap sosok pahlawan. Tidak mengherankan jika kini, kita sering mendengar nasib buruk yang menimpa para pahlawan devisa yang berlangsung secara konsisten. Lalu, masih layakkah kita menyebut diri sebagai bangsa yang besar?
No comments:
Post a Comment