Wednesday, January 27, 2016

Fikih Kebangsaan Muhammadiyah

Harian Nasional, 23 Januari 2016
 
Judul Buku: Fikih Kebinekaan; Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim
Penulis: Wawan Gunawan Abd. Wahid, dkk. (Ed.)
Penerbit: Mizan & Maarif Institute
Cetakan: I, 2015
Tebal: 360 Halaman

Bhinneka Tunggal Ika, dengan Burung Garuda, telah disepakati sebagai lambang dan sasanti bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Falsafah yang dinukil dari Sutasoma karya Mpu Tantular pada tujuh abad silam itu, menekankan pentingnya keragaman (Bhinneka) sebagai realitas yang harus diterima dan dijaga dalam harmoni (Tunggal Ika).

Sebagai pewaris sebagian wilayah Majapahit, era sang Mpu hidup, Indonesia kini juga merupakan negara dengan aneka budaya, ribuan pulau, dan etnis yang tersebar di seantero penjuru wilayahnya. Bukan hanya itu, Indonesia juga telah lama menjadi kuala penyerbukan silang budaya dan peradaban dunia. 

Hanya saja, Islam telah menggeser posisi Hindu sebagai agama mayoritas di negeri ini. Karenanya, menurut Buya Syafii Maarif dalam pengantar, semestinya umat Islam selalu tampil sebagai avant-garde integrasi nasional, bukan sebagai kekuatan sentrifugal yang dapat memicu disintegrasi bangsa. 

Paham-paham penuh kebencian dan sektarianistik yang dapat memicu keretakan bahkan perang saudara, harus segera disadarkan karena selain dapat merusak kerukunan, juga menghancurkan citra Islam yang penuh damai dan toleransi itu sendiri. Dan gagasan mengenai keragaman harus terus didengungkan dan disemai ke segenap lapisan masyarakat.

Buku berjudul lengkap Fikih Kebinekaan; Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim ini dapat dikatakan sebagai ikhtiar sebagian intelektual muslim Indonesia untuk terus menyebarkan gagasan akan pentingnya persatuan dalam bingkai keragaman.

Fikih kebhinekaan adalah sebuah rumusan fikih yang berpijak pada fenomena keragaman di masyarakat. Tujuannya adalah untuk memberikan panduan filosofis, teoretis-metodologis, dan praksis di kalangan umat Islam Indonesia dalam mendorong hubungan sosial yang harmonis, menghilangkan diskriminasi, memperkuat demokratisasi, dan memberikan landasan normatif-religius bagi negara dalam memenuhi hak-hak warga masyarakat secara berkeadilan. (Halaman 326)

Indonesia hingga saat ini masih kokoh berdiri sebagai negara yang didasarkan pada Pancasila dengan semboyan “Berbeda tetapi tetap satu”. Indonesia adalah bukan negara agama, tetapi tidak pula mengklaim sebagai negra sekuler. Sebagai salah satu negara paling plural di dunia, negeri ini kerap dihadapkan pada persoalan-persoalan dasar yang menyagkut hak-hak dasar warganya.   

Munculnya kelompok-kelompok minoritas di ruang publik, sering kali menstimulasi konflik horizontal-komunal dan berujung pada tindakan kekerasan sesama anggota warga negara, dan langkah diskriminatif dari negara. 

Karenanya, menurut Hilman Latief, selain negara harus bertindak tegas dalam memposisikan dirinya sebagai pihak yang menjamin hak setiap warganya, kontekstualisasi pemahaman atas makna ummah juga harus dilakukan. Ummah harus diinterpretasikan secara lebih egaliter dalam konteks kebangsaan. (Halaman 172) 

Senada dengan itu, intelektual Muhammadiyah lainnya, M. Amin Abdullah menyatakan keberadaan al-Qur’an dan Sunnah sebagai dua sumber utama dalam Islam, harus terus digali dan dibaca secara kontekstual. Karena untuk dapat mencapai tujuan utama dari agama, pembacaan atas dinamika sejarah dan sosial-budaya secara keilmuan harus dipertimbangkan. 

Dunia muslim di mana pun berada, lebih-lebih Indonesia yang bercorak pluralistik-multikulturalistik, memerlukan corak dan jenis bacaan terhadap kitab suci yang lebih kondusif dengan konteks budaya dan sosial setempat. Pengalaman manusia dan perkembangan ilmu pengetahuan serta situasi sosial dan politik perlu menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan makna-makna yang terkandung dalam Qur’an dan Sunnah.

Tentu tidak mudah melakukannya. Selain memerlukan perangkat keilmuan yang baru seperti ilmu-ilmu sosial, budaya dan sains modern pada umumnya, juga merekonstruksi tata dan pola pikir dan budaya sosial-politik keberagamaan Islam yang sudah terlanjur bercorak sektarianisme (tha’ifiyyah) yang akut. (Halaman 50)

Selain itu, Yudi Latif mengingatkan, bagi Indonesia sebagai adidaya budaya, teramat penting memiliki wawasan dan komitmen kebudayaan. Dengan karakter masyarakatnya yang plural dengan gugus keragaman budaya dalam kesatuan kebangsaan, konsepsi kebudayaan yang ditawarkan hendaknya tidak bersifat monolitik.

Keragaman internal kebudayaan Indonesia semakin kompleks dengan intensifikasi arus globalisasi yang makin luas cakupannya, makin dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya. Sehingga bukan saja berpotensi menghadapi ledakan pluralisme dari dalam, melainkan juga tekanan keragaman dari luar.   

Transformasi mitos, logos, dan etos harus dilakukan. Wahana yang mendorong lewat proses penyebukan silang budaya (cross-culture vertilization), yang melahirkan persenyawaan yang unggul dan produktif harus diciptakan. Kekayaan Indonesia sebagai negeri multikultural juga tidak boleh dibiarkan terus berjalan dalam situasi “plural monokulturalisme” tanpa saling interaksi. (Halaman 301)  

Buku setebal tiga ratus sembilan puluh halaman ini mengkaji secara khusus beberapa topik yang terkait dengan negara, warga negara, kelompok-kelompok minoritas, keharmonisan, serta masalah kepemimpinan. Ditulis oleh lima belas intelektual yang mayoritas berlatar belakang Muhammadiyah, atau memiliki afiliasi dengan organisasi keagamaan salah satu terbesar di Indonesia tersebut.

Karenanya, tidaklah berlebihan jika buku ini disebut sebagai fiqh kebangsaan ala intelektual Muhammadiyah, meski bukan representasi langsung dari Muhammadiyah secara kelembagaan. Mengingat isinya berupa rumusan sikap kaum muslim, terutama Muhammadiyah, dalam menghadapi keberbedaan dalam berbangsa dan bernegara.

Kehadiran karya penuh gizi ini, tentu akan semakin menambah wawasan dan gagasan alternatif kepada pembaca dalam memahami makna kebinekaan. Sebuah isu yang urgen untuk dibicarakan saat ini, di tengah menggejala dan meluasnya sentimen sektarian yang tidak jarang berujung pada radikalisme.


No comments:

Post a Comment