Monday, March 23, 2015

Skandal Lokal yang Menggemparkan

Tribun Jogja, 22 Maret 2015
 
Judul Buku: 121 Indonesia’s Scandals
Penulis: Afred Suci
Penerbit: Loveable
Cetakan: I, 2014
Tebal: 494 Halaman

Jalan pantai utara Jawa atau biasa disebut Pantura, merupakan jalur primadona para pengendara kendaraan bermotor di pulau Jawa. Terutama para pemudik menjelang lebaran Idul Fitri tiba. Jutaan manusia yang mengadu nasib dan mengais rejeki dari berbagai kota besar, terutama terpusat di Jakarta dan sekitarnya, berduyun-duyun pulang mudik ke asal kampung halaman masing-masing.

Sebagian menggunakan transportasi umum massal, sebagian lagi mengendarai kendaraan pribadi mulai dari roda dua hingga empat. Kebanyakan menuju berbagai kota kecil yang tersebar di pulau Jawa, tempat orang tua anak sanak famili yang masih hidup tinggal. Mereka menyemut memadati jalur Pantura hingga kemacetan menjadi ritual tahunan yang tak terhindarkan.
 Rupanya bukan hanya tradisi pemudik yang menghiasi jalur Pantura menjelang lebaran, melainkan juga perbaikan jalan. Tercatat gelontoran uang negara dari APBN dan BUMN sebesar dua triliun mengalir untuk menambal lubang-lubang yang menganga bertebaran di sepanjang jalur ini menjelang lebaran tiba. (Halaman 211)

Perbaikan rutin dengan dana jumbo jalur sepanjang 1.400 km tersebut menjadi salah satu isu yang dibahas dalam buku berjudul 121 Indonesia’s Scandals ini. Menurut Afred Suci, penulisnya, tercium aroma manipulasi dan kospirasi yang remang-remang bak kompleks pelacuran yang dilakukan para oknum terkait atas proyek kosmetika permukaan aspal Pantura.

Skandal lain yang disorotnya adalah intervensi asing atas kebijakan minyak dan gas (migas). Pascareformasi, pemerintah dan legislator Indonesia secara sengaja dan sadar masuk ke kubangan neo-liberalisme buta. Semua untuk kepentingan asing. Tentu dengan narasi yang dipermanis untuk mengelabui logika rakyat.

UU No.22 Tahun 2001 Tentang Migas dalam periode rancangannya sarat dengan pesan-pesan Amerika serta negara-negara kaya lainnya yang berkepentingan dengan mengintervensi sejumlah pasal-pasal di dalamnya, yang pada intinya bertujuan meliberalkan pengelolaan migas nasional, mulai dari hak produksi hilir hingga penyerahan harga minyak kepada mekanisme pasar. (Halaman 109)

Persoalan migas menjadi semakin kompleks ketika terbukti keberadaan mafia migas di negeri ini begitu nyata dan menggurita. Migas adalah kran uang yang sangat deras bagi kekuatan politik yang menjadi penguasa. Sindikasi antara orang RI-1, pejabat lembaga terkait migas, dan poros pedagang minyak mentah sejak Orde Baru telah terbentuk menentukan harga yang harus ditebus rakyat. 

Istana, Kementerian ESDM, Menko Perekonomian, SKK Migas, Petral, dan ranting-ranting Global Energy Resource milik godfather migas saling berkelindan membentuk pusaran konspirasi yang sangat sulit ditembus dan dibuktikan meskipun bau busuknya dapat dihirup bersama-sama seluruh rakyat. 

Bahkan maraknya politik uang dalam setiap Pemilihan Umum diduga sebagian besar dananya berasal dari para mafia Migas yang menjadi Bandar bagi calon tertentu sebagai bentuk investasi demi memuluskan dan mengamankan kejahatannya di masa depan. Sehingga, kolaborasi antara penguasa dengan pengusaha hitam ini menjadi sulit untuk dilawan.  

Isu-isu di dunia selebritis pun tak luput dari bidikan Afred. Sebut saja misalnya isu keberadaan para artis nasional, terutama artis dangdut yang bisa dibooking para pejabat dengan tarif selangit. Mulai dari Rp.25 juta hingga Rp. 250 juta. Skandal politisi-pejabat-pengusaha dengan para penyanyi dan artis kerap menghiasi berbagai pemberitaan media massa.

Bahkan, setiap kali seorang tokoh politik atau figur penting tertangkap terkait korupsi, yang justru menarik bukan kasus korupsinya itu sendiri, tapi kemana aliran duit kotor itu mengalir ke sejumlah perempuan muda nan cantik, semok, dan tentu saja seksi. Sebagian bahkan tidak jarang merupakan artis-artis terkenal. (Halaman 468)

Sebut saja nama-nama yang saat ini menjadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti Akil Mukhtar dan Wawan. Berdasarkan pengakuan keduanya, tidak sedikit uang hasil korupsi mereka yang mengalir para artis cantik di negeri ini, tentu saja dengan beragam alasan dan motif.    

121 isu yang tersebar sepanjang sejarah Indonesia dihimpun dan dikelompokkan menjadi enam tema besar dalam buku setebal 494 halaman ini; Agama dan Budaya, Ekonomi, Hukum, Polisi, Militer, dan Intelejen, Sejarah dan Politik, serta Selebritis. Semua konspirasi yang dihadirkan merupakan fakta media yang sejatinya sudah dulu tersebar menjadi konsumsi publik.

Meski demikian, upaya Alfred untuk menghimpunnya dalam satu buku yang utuh patut diapresiasi. Terlebih istilah konspirasi menjadi mengemuka dan digunakan oleh penulisnya untuk menyebut isu-isu yang ada mengingat isu tersebut hingga hari ini masih terselubung tabir pekat. Sehingga upanya layak disebut untuk melawan lupa atas aneka skandal dan konspirasi.
 


No comments:

Post a Comment