Wednesday, July 23, 2014

Guru Sufi dari Tatar Sunda

Judul Buku: Abah Anom; Wali Fenomenal Abad 21 dan Ajarannya
Penulis: Asep Salahudin

Penerbit: Noura

Cetakan: I, Maret 2014

Tebal: 234 Halaman


Sejarah mencatat bahwa masuknya Islam ke Indonesia sehingga dapat menjadi agama mayoritas di kepulauan Nusantara, khususnya Pulau Jawa, merupakan atas kontribusi kaum tarekat. Islam yang didakwahkan ke masyarakat tidak melalui gerakan politik-struktural tetapi lewat jalur budaya. Budaya lokal tidak lantas dicap sebagai tidak islami, tetapi justrui dijadikan bagian budaya Islam.


Jejak akulturasi antara budaya lokal dan nilai keislaman dapat disaksikan hingga saat ini. Mulai dari arsitektur Masjid yang unik, hingga pagelaran Wayang (Kulit maupun Golek) yang banyak memuat pesan agama (Islam) yang kaya yang disampaikan baik melalui cerita yang telah dimodifikasi dari kisah aslinya yang bernuansa Hindu.



Selain itu, di tengah kepicikan kaum puritan yang baru masuk ke Indonesia beberapa tahun belakangan, kiprah dan jumlah kaum tarekat tetap eksis di masyarakat. Aktivitas dakwah meraka dapat ditemukan di berbagai daerah dan tempat di Indonesia dengan dihadiri ratusan hingga puluhan ribu jamaah. Salah satu yang fenomenal adalah seorang ulama tarekat kharismatik asal Jawa Barat bernama Abah Anom.


Menurut buku berjudul Abah Anom; Wali Fenomenal Abad 21 & Ajarannya ini nama aslinya adalah Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin. Lahir pada 1 Januari 1915 di Godebag, Tasikmalaya. Namanya dikenal luas masyarakat Indonesia selain karena posisinya sebagai mursyid (pemimpin) Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN) Suryalaya juga karena sikapnya yang dianggap berbeda dengan dengan asumsi kebanyakan orang atas dunia tarekat.


Martin van Bruinessen menuturkan bahwa istilah “tarekat” mengacu pada dua hal yang secara konseptual berbeda. Maknanya yang asli (secara harfiah: jalan) merupakan panduan khas antara doktrin, metode, dan ritual, tetapi istilah ini pun sering dipakai untuk mengacu pada organisasi (formal atau informal) yang menyatukan pengikut-pengikut “jalan” tertentu.


Pada masa lalu, tarekat sering dimaknai sebagai gerakan yang menghindari urusan sosial, politik, dan budaya. Sikap zuhud, fakir, pakaian sederhana, menjauhi kemegahan materi dan kesenangan duniawi serta sikap skeptis terhadap dunia yang lainnya kerap disematkan kepada para pelaku tarekat dan tasawuf. 


Padahal tasawuf tidak melarang penganutnya untuk kaya, terkenal, atau menjadi pejabat yang disegani. Seorang sufi tidak akan terbelenggu dunia, tidak dikuasai dunia, tetapi menguasai dunia, di mana dunia menjadi alat untuk beribadah kepada Allah. Atau dalam TQN suryalaya, dikenal metafora nyabut belut tina lumpur. Artinya belut dapat diambil dari kubangan lumpur, tanpa sedikitpun ternoda oleh lumpur tersebut. (Halaman 146)


Konsep tersebut dimaknai sebagai perintah untuk terlibat aktif dalam kehidupan masyarakat, dan pada waktu yang bersamaan, hati terpaut pada kesadaran ketuhanan dan selalu bersikap warak. Kesucian diri dalam ajaran TQN Suryalaya tidak diupayakan dengan cara menyepi, tetapi dengan melibatkan diri secara aktif dalam kehidupan sosial, politik, dan kebudayaan.


Pesantren Suryalaya didirikan Abah Sepuh pada 7 rajab 1323 H/ 5 September 1905 di sebuah perkampungan yang sangat sepi, di sebuah kawasan yang sama sekali tidak dilintasi jalan besar. Secara geografis, Suryalaya berada di pinggiran Tasikmalaya, berbatasan dengan Kabupaten Ciamis. Tepatnya di sebuah dusun yang bernama Godebag di tepi sungai Citanduy.


Sedangkan Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah merupakan penggabungan antara Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Tarekat ini didirikan oleh Ahmad Khatib ibn Abdul Gaffar al-Sambasi al-Jawi yang wafat di Mekkah pada tahun 1878. Syaikh Sambas merupakan sosok yang sangat penting dalam jaringan keilmuan dan keulamaan di tanah Jawa. Ia sering disebut sebagai sosok guru kiai yang banyak dicari. (Halaman 162)


Penggabungan dua tarekat tersebut dilandasi pemikiran bahwa ajaran dan metode keduanya bisa saling melengkapi sehingga diharapkan para salik dapat menjalankan laku ruhani secara lebih efisien. Sebagai contoh, jika tarekat Qadiriyah menekankan dzikir jahr (dengan suara keras), maka Naqsyabandiyah mengutamakan zikir khafi (zikir hati).


Pasca-wafatnya Syaikh Khatib, kepemimpinan tarekat ini beralih ke Syaikh Abdul Karim al-Bantani. Kemudian setelah Syaikh al-Bantani wafat muncul beberapa orang mursyid penerusnya yang berpengaruh, yaitu Syaikh Thalhah dari Cirebon dan Syaikh Kholil dari Bangkalan, Madura.


Syaikh Abdullah bin Mubarak bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) yang notabene pendiri TQN Suryalaya, berguru kepada Syaikh Kholil, kemudian dilanjutkan pengembaraan ilmunya ke Syaikh Thalhah di Cirebon. Kelak, Syaik Thalhah memberinya khirqah melimpahinya wewenang sebagai mursyid TQN. Dari Abah Sepuh estafet mursyid kemudian beralih ke K.H. Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin alias Abah Anom.


Abah Sepuh dan Abah Anom dengan mengikuti strategi dakwah para Wali Sanga, berusaha melakukan ijtihad untuk mengainkan antara Islam dan Sunda tanpa harus menegasikan. Bagi Abah Anom, al-Qur’an dan imperatif etiknya tidak mesti dipahami dalam latar atmosfir alam pikiran orang Arab, tetapi justru harus dijangkarkan dalam tradisi lokal, yang dalam hal ini adalah ruh kebudayaan Sunda. (Halaman 177)


Menjelajahi lembar demi lembar kisah sang Guru Sufi dari Tatar Sunda yang tertuang dalam buku setebal 234 halaman ini, pembaca akan memahami sejarah serta buah pikir dari sosok yang popular dengan nama Abah Anom tersebut lengkap dengan kisah-kisah uniknya. Selain itu, pembaca juga akan menjumpai sosok Ulama yang merakyat serta kecintaannya yang tinggi terhadap kebudayaan lokal tempat ia lahir, besar, dan kembali ke Yang Maha Esa.   

2 comments:

  1. makasih ya sob salam sukses buat blognya bermanfaat bgt nie informasinya peluang usaha untuk mahasiswa

    ReplyDelete
  2. mantap kang... masih ada ga tokoh2 yg hebat dari sunda? kalau ada .share lagi kang

    ReplyDelete