Judul Buku: Sunan Kalijaga; Mistik dan Makrifat
Penulis: Achmad Chodjim
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, 2013
Tebal: 371 Halaman
Sunan
Kalijaga merupakan nama salah seorang Wali
Sanga yang sangat terkenal pada masyarakat Jawa. Meski demikian, sangat
sedikit orang yang mengetahui ajarannya. Umumnya hanya mengetahui sebatas warisan
karyanya berupa tembang, antara lain tembang “Ilir-ilir” yang biasa dinyanyikan
anak-anak di Jawa.
Nama
kecilnya adalah Raden Syahid. Anak adipati Tuban bernama Tumenggung Wilatikta
atau Aria Teja (IV) yang merupakan keturunan dari Aria adikara atau Ranggalawe,
salah seorang pendiri kerajaan Majapahit. Ketika ia lahir, Majapahit sudah
mulai surut sedangkan kesejahteraan masyarakat sangat memprihatinkan.
Kondisi
demikian rupanya menumbuhkan keprihatinan di hatinya, terlebih sang ayah tidak
dapat berbuat apa-apa mengingat posisinya hanya sebatas raja bawahan. Maka
jalan pintas pun dilakukannya dengan menjadi maling cluring, sebutan kepada pencuri yang membagikan hasil
curiannya kepada orang miskin. Seperti sosok Robin Hood dalam cerita masyarakat
Britania.
Akibatnya,
ia diusir dari istana kadipaten. Namun hal itu tidak membuatnya jera, sambil
mengembara ia tetap melanjutkan aksinya. Hingga akhirnya bertemu dengan seorang
lelaki tua yang kelak diketahui bernama Sunan Bonang. Pertemuan legendaris
inilah yang mampu mengubah jalan hidup sang Raden, sehingga tercerahkan dan
menjadi salah satu wali penyebar agama Islam terpopuler.
Nama
Kalijaga sendiri berasal dari laku tirakat yang dilakukannya demi menjaga
amanat sang guru untuk bertapa sekaligus menantinya di tepi sungai. Selain
dikenal dengan nama Sunan Kalijaga, beliau juga dalam hikayat Patani dikenal
dengan nama Syekh Sa’id yang berhasil mengobati Raja Patani hingga sembuh.
Sedang di Malaya lebih dikenal dengan nama Syekh Malaya. Kedua daerah tersebut
merupakan kawasan pengembaraan kanjeng Sunan sebelum kembali ke tanah Jawa.
Meski
kisah dan perjuangan sosok yang satu ini sangat menarik, namun buku berjudul Sunan Kalijaga;
Mistik dan Makrifat ini lebih memilih untuk
mengungkap ajaran serta laku sang Sunan. Sehingga pembaca tidak sekedar diajak
mendengarkan kisah hidup, namun lebih jauh dan dalam menyelami pemikiran serta
ajaran yang diwariskannya kepada komunitas muslim nusantara.
Laku dan Pemikiran Sunan
Dalam presidium Wali Sanga, Sunan Kalijaga dikenal sebagai wali yang
paling njawani alias paling getol menggunakan materi-materi budaya dan
tradisi lokal sebagai media dakwahnya. Sosoknya juga dikenal sebagai wali yang
tetap berpakaian ala Jawa, lebih memilih mengenakan blangkon dan baju
jas model Jawa (surjan) daripada jubah. (Halaman 144)
Pendekatan budaya yang dilakukan Sunan ketika mensosialisasikan Islam
kepada masyarakat luas dilakukan baik melalui tembang-tembang seperti Pupuh
Dhandanggula, Pupuh Kinanthi, Kidung Darmawedha dan
lain-lain, maupun perhelatan besar maulid atau yang lebih dikenal dengan Grebeg
Maulud dan Sekaten.
Tembang-tembang
yang digubahnya bukan sembarang tembang tanpa makna sebagaimana produk
kebudayaan pop saat ini. Akan tetapi tembang dan ekspresi budaya yang bukan
hanya memiliki nilai-nilai keislaman yang mampu mengantarkan pembacanya pada
pemahaman ajaran yang didakwahkan, namun juga terkandung makna filosofis-mistis
yang tinggi.
Kalijaga
memang dikenal sebagai seorang mistikus Islam dan Jawa sekaligus. Sebagai
seorang sufi agung, sumber rujukan pelajaran keimanan dan makrifatnya berasal
dari kitab Ihya Ulum al-Din karya al-Ghazali.
Meski demikian, jika melihat pemikirannya yang tertuang dalam karya-karyanya,
tampaknya Sunan melakukan sinkretisme antara pemikiran dan laku spiritual dari
luar dengan praktik mistik Jawa. (Halaman 204)
Sunan
memang sosok wali yang menjadi inovator kebudayaan pada zamannya. Ia tidak mau
hanya menjiplak dan menelan bulat-bulat apa yang berasal dari nusantara.
Sebagaimana pakaian yang dikenakannya, lagu-lagu gubahannya, serta bahasa yang
digunakannya, Sunan selalu melihat dan mempertimbangkan kondisi sosial, politik
dan kebudayaan masyarakat setempat.
Baginya,
substansi lebih penting daripada sekedar atribut luar. Pemikiran tersebut dapat
kita jumpai misalnya dari sikapnya terhadap budaya wayang. Sebelum Islam masuk,
wayang purwa telah menjadi media yang digunakan untuk mendidik budi pekerti dan
moralitas orang Jawa.
Alih-alih
memberangus serta melakukan pembongkaran terhadap kebudayaan luhur tersebut,
secara cerdas Sunan justru memanfaatkan wayang untuk menyebarkan agama Islam.
Caranya, dengan memasukkan unsur-unsur Islam ke dalamnya dan memodifikasi
cerita yang pada awalnya merujuk pada keyakinan Hindu menjadi Islam. (Halaman
340)
Selama
ini, Sunan Kalijaga juga sering dianggap sebagai orang yang melakukan hukuman
mati terhadap Syekh Siti Jenar, anggapan yang dibantah oleh Achmad Chodjim, penulis
buku setebal 371 halaman ini. Alasannya karena Pangeran Panggung,
putra Sunan sendiri merupakan salah seorang murid Siti Jenar.
Selain itu,
nama-nama Ki Ageng Pamanahan, Ki Panjawi, dan Ki Juru Martani merupakan anak
didik Kalijaga, padahal orangtua mereka merupakan para murid Siti Jenar. Hal
demikian menunjukkan bahwa sangatlah tidak mungkin terjalin relasi guru dan
murid ini jika Kalijaga menjadi eksekutor dari kakek guru mereka.
No comments:
Post a Comment