Judul Buku: Demokrasi dan Pemilu di Indonesia
Penulis: Janedjri M. Gaffar
Penerbit: Konstitusi Press
Cetakan: I, November 2013
Tebal: 228 Halaman
Tahun
2014 sering disebut banyak kalangan sebagai tahun politik. Alasannya, apalagi
kalau bukan karena pada tahun ini digelar hajatan demokrasi bangsa Indonesia
berupa Pemilihan Umum (Pemilu) yang menentukan nasib ribuan anggota legislatif dalam
12 partai politik nasional. Plus pemilihan
Presiden Republik Indonesia beserta wakilnya periode 2014-2019.
Meski
akhir-akhir ini dicibir banyak orang karena dianggap memakan ongkos politik
yang tidak sedikit, Pemilu tetap menjadi keniscayaan bagi sebuah negara
demokrasi modern. Selaras dengan Universal
Declaration on Democracy yang diadopsi oleh Inter-Parliamentary Union pada
16 September 1997, yang menegaskan bahwa elemen kunci untuk menjalankan
demokrasi adalah dengan cara menyelenggarakan Pemilu yang jujur dan adil secara
berkala.
Buku berjudul lengkap Demokrasi dan Pemilu di Indonesia ini
berusaha mendedah secara detail aneka rupa wacana demokrasi dan Pemilu yang
pernah terjadi di Indonesia, mulai dari berdirinya Republik Indonesia hingga lahirnya
era reformasi. Era yang sampai saat ini telah menyelenggarakan tiga kali
Pemilu.
Konsep negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional
democracy) dan negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat)
tak luput dari uraiannya. Disimpulkan Janedjri M. Gaffar, penulis buku ini, bahwa keduanya
dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi dalam sebuah Negara Demokrasi
Konstitusional.
Perlu
diketahui, saat ini tidak ada satu negara pun yang sepenuhnya dapat mengangankan
demokrasi langsung sebagaimana yang terjadi pada negara yang wilayah dan jumlah
warganya sangat kecil, sebagaimana di negara kota (polis) pada masa Yunani Kuno. Sehingga negara demokrasi modern
adalah negara yang menjalankan demokrasi perwakilan. Termasuk Indonesia.
Dalam
demokrasi perwakilan, hak rakyat diselenggarakan oleh wakil rakyat, baik yang
duduk di legislatif maupun eksekutif. Sedangkan Pemilu merupakan upaya
pelibatan rakyat dalam pembentukan dan penyelenggaraan pemerintahan tersebut
melalui partisipasi, representasi, dan pengawasan. (Halaman 36)
Dengan
kata lain, demokrasi perwakilan mengalihkan fungsi pemerintahan dari warga
negara kepada organ-organ negara. Penentuan untuk mengisi organ-organ negara tersebut
prosesnya dilakukan melalui nominasi yang demokratis, Pemilu. Karena itu, para
wakil rakyat harus dipilih sendiri oleh rakyat.
Meski
demikian, sukses tidaknya suatu Pemilu tidak melulu dilihat dari terlaksananya
semua tahapan hingga terisinya semua jabatan yang diperebutkan seperti anggota
DPR dan Presiden. Pemilu yang berhasil adalah Pemilu yang bebas dari cara-cara
yang penuh dengan pelanggaran dan kecurangan yang bertentangan dengan asas
langsung, umum, bebas dan rahasia, serta jujur dan adil.
Asas
jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih maupun peserta Pemilu,
tetapi juga penyelenggara. Juga tidak hanya terwujud dalam mekanisme prosedural
pelaksanaan Pemilu, tetapi juga harus terwujud dalam segala tindakan
penyelenggara, peserta, pemilih, bahkan pejabat pemerintah. Sehingga asas tersebut
dapat menjadi spirit keseluruhan pelaksanaan Pemilu.
Faktanya,
beberapa Pemilu yang pernah digelar dicurigai tidak mencerminkan asas jujur dan
adil tersebut. Salah satunya hasil Pemilu 2009 yang sempat menimbulkan konflik
dan terdapat 27 partai politik yang tidak menandatangani hasil Pemilu. Sengketa
tersebut kemudian diserahkan oleh Presiden kepada Panitia Pengawas Pemilu
(Panwaslu), dan juga dibawa ke Mahkamah Agung. (Halaman 128)
Tidak
ada teori dan konsep yang tanpa cela. Negara yang mengklaim sebagai negara
demokrasi pun dapat terjerumus menjadi negara otoriter meskipun mekanisme
formal demokrasi telah dilakukan. Sebagaimana terlihat pada masa Orde Baru. Karenanya,
tekad dan komitmen untuk mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum
dan konstitusi harus dimiliki oleh penyelenggara negara.
Perubahan
terkait dengan penyelenggaraan Pemilu terjadi setelah reformasi lahir, yaitu
dengan berdirinya Mahkamah Konstitusi (MK). Keberadaan lembaga ini melengkapi
komponen yang diperlukan untuk adanya Pemilu yang demokratis khususnya terkait
dengan pengujian konstitusionalitas undang-undang (UU) yang terkait
penyelenggaraan Pemilu dan penyelesaian sengketanya.
Seluruh
persoalan Pemilu adalah persoalan konstitusional. Sehingga sebagai peradilan
konstitusi MK memiliki kewenangan mulai dari memastikan keberkalaan, memastikan
dan mengawasi pelaksanaan prosedur berdasarkan asas Pemilu, hingga sebagai
lembaga akhir yang memutus hasil Pemilu jika ditemukan sengketa. (Halaman 194)
Kewenangan
MK memutus Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) berpangkal pada pemahaman bahwa
Pemilu adalah instrumen demokrasi. Manakala terjadi pelanggaran atau kesalahan
dalam penyelenggaraan Pemilu, pelanggaran tersebut harus dapat diselesaikan
secara hukum. MK memiliki kewenangan menyelesaikan secara hukum di tingkat
nasional.
Sebagai
bagian dari disertasi doktoral, kehadiran buku setebal 228 halaman
ini semestinya telah teruji validitas datanya serta dapat dipertanggung
jawabkan akurasi analisanya secara akademis. Sehingga, buku ini dapat menjadi
salah satu rujukan yang berkaitan dengan proses demokrasi dan Pemilu di
Indonesia.
Thanks nice post
ReplyDelete