Saturday, January 11, 2014

Potret Demokrasi di Indonesia

Koran Sindo, 12 Januari 2014
 
Judul Buku: Demokrasi dan Pemilu di Indonesia
Penulis: Janedjri M. Gaffar
Penerbit: Konstitusi Press
Cetakan: I, November 2013
Tebal: 228 Halaman

Tahun 2014 sering disebut banyak kalangan sebagai tahun politik. Alasannya, apalagi kalau bukan karena pada tahun ini digelar hajatan demokrasi bangsa Indonesia berupa Pemilihan Umum (Pemilu) yang menentukan nasib ribuan anggota legislatif dalam 12 partai politik nasional. Plus pemilihan Presiden Republik Indonesia beserta wakilnya periode 2014-2019.

Meski akhir-akhir ini dicibir banyak orang karena dianggap memakan ongkos politik yang tidak sedikit, Pemilu tetap menjadi keniscayaan bagi sebuah negara demokrasi modern. Selaras dengan Universal Declaration on Democracy yang diadopsi oleh Inter-Parliamentary Union pada 16 September 1997, yang menegaskan bahwa elemen kunci untuk menjalankan demokrasi adalah dengan cara menyelenggarakan Pemilu yang jujur dan adil secara berkala.

Buku berjudul lengkap Demokrasi dan Pemilu di Indonesia ini berusaha mendedah secara detail aneka rupa wacana demokrasi dan Pemilu yang pernah terjadi di Indonesia, mulai dari berdirinya Republik Indonesia hingga lahirnya era reformasi. Era yang sampai saat ini telah menyelenggarakan tiga kali Pemilu.

Konsep negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) dan negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) tak luput dari uraiannya. Disimpulkan Janedjri M. Gaffar, penulis buku ini, bahwa keduanya dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi dalam sebuah Negara Demokrasi Konstitusional.

Perlu diketahui, saat ini tidak ada satu negara pun yang sepenuhnya dapat mengangankan demokrasi langsung sebagaimana yang terjadi pada negara yang wilayah dan jumlah warganya sangat kecil, sebagaimana di negara kota (polis) pada masa Yunani Kuno. Sehingga negara demokrasi modern adalah negara yang menjalankan demokrasi perwakilan. Termasuk Indonesia.

Dalam demokrasi perwakilan, hak rakyat diselenggarakan oleh wakil rakyat, baik yang duduk di legislatif maupun eksekutif. Sedangkan Pemilu merupakan upaya pelibatan rakyat dalam pembentukan dan penyelenggaraan pemerintahan tersebut melalui partisipasi, representasi, dan pengawasan. (Halaman 36)

Dengan kata lain, demokrasi perwakilan mengalihkan fungsi pemerintahan dari warga negara kepada organ-organ negara. Penentuan untuk mengisi organ-organ negara tersebut prosesnya dilakukan melalui nominasi yang demokratis, Pemilu. Karena itu, para wakil rakyat harus dipilih sendiri oleh rakyat.

Meski demikian, sukses tidaknya suatu Pemilu tidak melulu dilihat dari terlaksananya semua tahapan hingga terisinya semua jabatan yang diperebutkan seperti anggota DPR dan Presiden. Pemilu yang berhasil adalah Pemilu yang bebas dari cara-cara yang penuh dengan pelanggaran dan kecurangan yang bertentangan dengan asas langsung, umum, bebas dan rahasia, serta jujur dan adil.

Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih maupun peserta Pemilu, tetapi juga penyelenggara. Juga tidak hanya terwujud dalam mekanisme prosedural pelaksanaan Pemilu, tetapi juga harus terwujud dalam segala tindakan penyelenggara, peserta, pemilih, bahkan pejabat pemerintah. Sehingga asas tersebut dapat menjadi spirit keseluruhan pelaksanaan Pemilu.

Faktanya, beberapa Pemilu yang pernah digelar dicurigai tidak mencerminkan asas jujur dan adil tersebut. Salah satunya hasil Pemilu 2009 yang sempat menimbulkan konflik dan terdapat 27 partai politik yang tidak menandatangani hasil Pemilu. Sengketa tersebut kemudian diserahkan oleh Presiden kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), dan juga dibawa ke Mahkamah Agung. (Halaman 128)

Tidak ada teori dan konsep yang tanpa cela. Negara yang mengklaim sebagai negara demokrasi pun dapat terjerumus menjadi negara otoriter meskipun mekanisme formal demokrasi telah dilakukan. Sebagaimana terlihat pada masa Orde Baru. Karenanya, tekad dan komitmen untuk mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum dan konstitusi harus dimiliki oleh penyelenggara negara.

Perubahan terkait dengan penyelenggaraan Pemilu terjadi setelah reformasi lahir, yaitu dengan berdirinya Mahkamah Konstitusi (MK). Keberadaan lembaga ini melengkapi komponen yang diperlukan untuk adanya Pemilu yang demokratis khususnya terkait dengan pengujian konstitusionalitas undang-undang (UU) yang terkait penyelenggaraan Pemilu dan penyelesaian sengketanya.

Seluruh persoalan Pemilu adalah persoalan konstitusional. Sehingga sebagai peradilan konstitusi MK memiliki kewenangan mulai dari memastikan keberkalaan, memastikan dan mengawasi pelaksanaan prosedur berdasarkan asas Pemilu, hingga sebagai lembaga akhir yang memutus hasil Pemilu jika ditemukan sengketa. (Halaman 194)

Kewenangan MK memutus Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) berpangkal pada pemahaman bahwa Pemilu adalah instrumen demokrasi. Manakala terjadi pelanggaran atau kesalahan dalam penyelenggaraan Pemilu, pelanggaran tersebut harus dapat diselesaikan secara hukum. MK memiliki kewenangan menyelesaikan secara hukum di tingkat nasional.   

Sebagai bagian dari disertasi doktoral, kehadiran buku setebal 228 halaman ini semestinya telah teruji validitas datanya serta dapat dipertanggung jawabkan akurasi analisanya secara akademis. Sehingga, buku ini dapat menjadi salah satu rujukan yang berkaitan dengan proses demokrasi dan Pemilu di Indonesia.
   

1 comment: