Sunday, January 15, 2012

Mengenal Islam Toleran

Bisnis Indonesia, 15 januari 2012

Judul BukuBerislam secara Toleran
Penulis: Irwan Masduqi
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, 2011
Tebal: 310 Halaman


Maraknya aksi kekerasan yang menggunakan topeng agama sebagai sandaran ideologisnya selama satu dasa warsa terakhir, memunculkan gelombang phobia di berbagai belahan bumi, terutama Barat, terhadap Islam agama yang dianut para pelaku tersebut.


Seiring dengan hal itu, istilah terorisme pun semakin tererek popularitasnya usai dikampanyekan George W. Bush, kala menjabat presiden Amerika Serikat, pasca peristiwa 11 September. Hingga kini, kata terorisme menjadi sangat identik dengan “Islam” sebagai sebuah agama.


Kalangan Islamophobik seolah tak henti-hentinya menciptakan stereotype bahwa umat Islam adalah ekstremis, pembuat onar, anti-Kristen dan anti-Yahudi, menolak demokrasi, opresif terhadap wanita, dan memaksakan menerapkan hukum Islam yang kejam.


Di sisi lain, Islamophilia cenderung membaik-baikkan citra Islam. Kalangan Islamophilik menyatakan bahwa yang pantas merepresentasikan Islam adalah Muslim yang baik yang senantiasa mengutamakan cinta dan perdamaian, bukan para teroris. Muslim yang baik adalah yang memposisikan perempuan secara egaliter dan memberikan hak-hak kebebasan kepada mereka. Muslim yang baik yang memiliki kesadaran pluralistik, moderat, demokratis, dan menolak kekerasan atas nama agama.

Islamophilia acap terjebak dalam subjektivitas dan krisis transparansi ketika menampilkan citra positif islam. Karena secara bersamaan, Islamophilia kerap menyembunyikan elemen-elemen intoleran yang sedemikian banyak dalam tradisi pemikiran Islam.


Padahal, John L. Esposito menyatakan bahwa pandangan terhadap Islam secara monolitik sebagai agama kekerasan adalah mitos. Intelektual yang dikenal dengan pemikirannya yang moderat dan obyektif ini lebih condong menilai Islam sebagai agama yang memiliki banyak wajah (many faces), sebab pemahaman kaum Muslimin tentang apa yang diperintahkan dalam al-Qur’an dan praktik Nabi saw. mengenai jihad sangat beragam.


Tidak dapat dipungkiri, realitas Islam telah melahirkan beragam gerakan ideologis, yang masing-masing bergantung pada situasi kesejarahan yang kompleks. Meski semuanya mendasarkan pada al-Qur’an yang sama, interpretasi-interpretasi yang dibangunnya hanya berfungsi  untuk melegitimasi klaim-klaim yang menguntungkan masing-masing kelompok.


Fakta inilah yang hendak dipaparkan dalam buku berjudul Berislam secara Toleran ini. Lahir sebagai ekspresi kegelisahan seorang Irwan Masduqi, penulisnya, atas fenomena keimanan yang bukannya menjadi tuntutan terciptanya perilaku saling menghargai perbedaan, tetapi malah menimbulkan antagonisme dan ketegangan yang tak berkesudahan.


Problem utama yang menjadi pemicu atas kondisi tersebut adalah minimnya bahkan mungkin absennya dialog peradaban yang terbangun pada sebagian kalangan umat Islam saat ini, dengan umat lain. Hal yang sangat wajar, mengingat dialog peradaban hanya akan tercipta jika budaya toleransi, yang merupakan kebalikan dari budaya fanatisme, sudah dapat ditumbuhkembangkan pada umat.


Urgennya sikap toleran, telah membuat United Nations educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) mendeklarasikan tanggal 16 November sebagai Hari Toleran Internasional. Deklarasi tersebut menjelaskan bahwa toleransi adalah rasa hormat, penerimaan, dan apresiasi terhadap keragaman budaya dan ekspresi kita.


Celakanya, toleransi nampaknya masih menjadi sesuatu yang aneh bagi sebagian umat Islam. Selain itu, secara jujur Khaled Abou el-Fadl secara jujur mengatakan bahwa al-Qur’an cukup menyediakan argumen, baik kepada mereka yang menilai Islam itu humanis, maupun kepada mereka yang memakainya untuk maksud-maksud ekstremis.


Dalam bahasa Yunani, toleransi disebut dengan istilah “soprosyne” yang artinya adalah moderasi (moderation) atau mengambil jalan tengah. Sedangkan istilah toleransi berasal dari bahasa Latin “tolerantia”, yang artinya “menahan”. Toleransi merupakan sikap menahan dari hal-hal yang dinilai negatif.


Toleransi sering disalahpahami sebagai bentuk ketidakpedulian pasif (passive indifferent), sebuah sikap acuh tak acuh yang tidak positif terhadap kebenaran, menolak memberikan penilaian terhadap pendapat orang lain. Sedangkan toleransi tetap memberikan penilaian, baik positif maupun negatif, terhadap pendapat orang lain dengan komitmen moral dan kesadaran menghormatinya.


Wacana toleransi dalam sejarah Islam bermuara pada spirit Piagam Madinah (Watsiqah al-Madinah) yang dinilai oleh banyak kalangan, tak terkecuali orientalis, sebagai konstitusi negara yang pertama di dunia. Toleransi dalam Islam menolak absolutisme dogmatis yang memonopoli kebenaran tunggal dan mutlak. Absolutisme dianggap sebagai bentuk kecongkakan manusia yang merasa dirinya mampu menangkap semua kebenaran dari Tuhan. Toleransi Islam dengan rendah hati mengakui keterbatasan manusia dalam meraih kebenaran absolut.


Para Ulama toleran membedakan antara “pemikiran keislaman” (al-fikr al-Islami) dengan “Islam”. Pemikiran keislaman sangatlah beragam dan kebenarannya bersifat relatif di mana masing-masing ulama mengajukan asumsi-asumsi tentang kebenaran, tetapi kebenaran Islam yang sejati bersifat tunggal dan hanya Allah yang tahu.  


Buku setebal tiga ratus sepuluh halaman ini, menyuguhkan konsep toleransi Islam menurut perspektif sederet pemikir Islam kontemporer seperti Mohammed Arkoun, Muhammed Abed al-Jabiri, Hassan Hanafi, Abdurrahman Wahid, dan lain-lain,  yang ide-idenya tentang toleransi patut diapresiasi dan terus diwacanakan di Indonesia, terutama di tengah menguatnya gejala intoleransi sebagaimana terjadi beberapa hari lalu di Sampang, Madura. 


1 comment: