Jawa Pos, 28 November 2010
Penulis: Jeremy Scahill
Penerbit: Mizan
Cetakan: Pertama,Oktober 2010
Tebal: 701 halaman
Apa yang terbersit di benak Anda ketika mendengan kalimat kontaktor-kontraktor sipil? pekerja-pekerja konstruksi yang bergelantungan di gedung-gedung bertingkat? Tentu tak salah anda beranggapan demikian karena memang itulah yang jamak kita ketahui selama ini.
Tapi, sejatinya, kalimat tersebut juga bisa bermakna jauh dari itu: para pria kekar yang menenteng pistol atau senjata laras panjang, memakai rompi anti peluru dengan mengendarai mobil jip di sebuah tempat rawan konflik. Persenjataan mereka bahkan lebih lengkap dibanding senjata militer sendiri.
itulah "kontraktor sipil" versi Amerika Serikat. Para tentara bayaran anggota Blackwater. Keberadaannya mulai ramai dibicarakan dengan istilah kontraktor sipil yang melekat padanya, pasca sebuah peristiwa mencekam di salah satu kota di Irak, Falujjah 31 Maret 2004. Dimana empat tentara bayaran Blackwater terbunuh secara mengenaskan menjadi sasaran kegeraman warga yang memuncak, hingga dibakar dan dimutilasi.
Didirikan tidak lama setelah militer berada di antara gebrakan privatisasi secara massal, yang diprakarsai pada masa Dick Cheney menjadi Menteri Pertahanan, sejak 1989 sampai 1993, di bawah pemerintahan George H.W. Bush. Blackwater kemudian menjadi bagian penting dalam agenda “perang melawan teror” yang dikobarkan Bush. (halaman. 203).
Namun kisah mengenai Blackwater tidak melulu soal perang melawan teror an sich. Dalam banyak hal Blackwater memberi gambaran ringkas sejarah peperangan modern.